bagaimanakah isi materi cerpen-cerpen kami?

Selasa, 09 Februari 2010

PONIJAH

Ada-ada saja kerjaan Ponijah. Pembantu mungil berparas agak lumayan ini selalu membuat sensasi di paguyuban kebanggaannya. Apalagi kalau bukan PBB alias Paguyuban Babu-Babu. Anggotanya tentu saja seluruh pembantu di kompleks perumahan elit ini.

Agar lebih legal formal dan kelihatan bergengsi, tak lupa paguyuban yang sejatinya kelas ecek-ecek ini diberi nama. Namanya PRASASTI, kepanjangannya Paguyuban Pramu Wisma Kompleks Telukan Indah. Yang lebih asyik lagi, PRASASTI dengan bangga memasang slogan: DENGAN PERSATUAN, KITA WUJUDKAN PEMERINTAHAN MAJIKAN YANG MADANI.

Meski kelihatan konyol dan agak norak, tapi toh slogan ini sudah membuahkan hasil. Buktinya, sekarang para majikan lebih suka menganggap mereka sebagai pembantu daripada pelayan.
‘Eh…apa bedanya sebutan pembantu dan pelayan ?’ Jangan sekali-kali berikan pertanyaan semacam ini kepada Ponijah..

Suatu hari pernah Bu Firda, nyonya rumahnya Ponijah iseng-iseng menanyakan hal ini kepada Ponijah. Hasilnya, Ponijah dengan mulut tipisnya menerangkan kepada beliau dengan detail dan sejelas-jelasnya sampai tak ada lagi yang dapat dipertanyakan.

“Jelas beda, Nyah ! Kalau pelayan ya kerjaannya melayani semata, malah kadang tanpa imbalan. Semua yang menjadi keinginan majikan, pelayan harus 24 jam alias all time siap melayani. Tidak siang tidak malam, kami harus siap. Bukankah sekarang ini banyak priyayi-priyayi putri yang secara tidak langsung dijadikan ‘pelayan’ oleh para suaminya. Maaf lho Nyah. Maksud saya pelayan dalam tanda petik. Kelihatannya saja mereka mulia, bedaknya bermerk, naiknya mobil kinclong yang dibelikan suami, makan pasti terjamin kesehatannya. Tapi nyatanya, bedak yang mereka gunakan hanya untuk menutupi wajah kelelahan mereka sendiri akibat diharuskan melayani suami tak kenal waktu. Suami maunya siang ya harus siap siang. Maunya malam ya harus stand by malam itu juga. Makanan bervitamin dan berkalori tinggi yang seharusnya buat mereka lebih sehat, tetapi hasilnya terbalik. Badan kelihatan sehat, tapi batinnya tertekan. Inilah de-fi-ni-si pelayan, nyonya !!!” Dengan gaya kemayu yang tidak dibuat-buat, pembantu kece ini berceramah dengan sedikit nada menggurui.

Wajar si Parmin, tukang kebun rumah sebelah begitu tergila-gila pada Ponijah. Saking ngefans-nya Parmin pada Ponijah, sampai dia nekat mengirim surat pada idolanya itu. Karena bingung, oleh Ponijah surat itu lantas diberikan kepada Bu Firda.


Dear Ponijah,
Andai saja engkau sebatang mawar yang tengah merekah kembangnya, tentulah aku ingin menjadi tangkai bagi bunga itu. Tak kan ada sepucuk duri yang kuijinkan menempel pada batangku. Biarkan keindahan saja yang menyelimuti kita. Dan….apabila kau adalah selembar kertas, maka ijinkan aku menjadi penanya. Akan aku tulis nuansa cinta yang romantis pada lembaran-lembaranmu. Tak kubiarkan coretan mengganggu keindahanmu.
Wahai Ponijah yang selalu aku kagumi. Lewat surat ini, ijinkanlah aku meminta separuh hatimu untuk aku gabungkan dengan separuh hatiku Biarkan gabungan hati kita menjalani kehidupan dengan sepenuh cinta. Ijinkanlah aku mencintaimu.
Tetapi, jika engkau tak berkenan maka biarkanlah aku tetap mengagumimu seperti biasa. Seperti hari ini.
Demikian surat ini aku tulis dengan sepenuh harapan akan kesediaanmu.

Salam hangat dariku
Parmin


Begitu selesai membaca, Bu Firda segera menuju kamar tidur. Di tempat itu beliau tertawa lepas. Tentu dengan terlebih dahulu ia nyalakan TV dengan volume maksimal agar tawanya tidak terdengar oleh Ponijah. Sekedar untuk menjaga perasaan pembantunya.
Menurut kabar, berapa jam kemudian Parmin dilabrak oleh Sukarti, pacar pertama Parmin. Menurut Ponijah, surat yang Parmin kirimkan kepadanya sama persis isinya dengan surat yang Parmin berikan pada Sukarti kala pertama dia meminang cinta Sukarti. Ponijah jadi tahu kelakuan playboy kelas teri itu. Untung Ponijah tidak termakan bujuk rayu murahan dari surat yang telah dikirimkan Parmin.

“Kalau pembantu lain lagi, Nyah ! Tidak seperti itu. Namanya saja pembantu, ya kerjaannya cuma membantu. Apa yang oleh majikan sudah dapat dikerjakan sendiri, pembantu seharusnya tidak ikut campur. Lha, kalau majikan tidak bisa melakukan, barulah kami siap membantu mengerjakannya. Jadi pekerjaan kami ini sesungguhnya mulia, baik di hadapan sesama manusia, apalagi di hadapan Gusti Allah.” Ponijah kembali berceramah seolah memberi kuliah pada majikannya.

“Berarti kalian-kalian ini hebat, Jah ?” Tanya Bu Firda pada pelayan…eh pembantunya.

“Ya jelas dong, Nyah ! saya dengar di kantor-kantor yang bonafid selalu memiliki orang yang kerjaannya membantu memberikan solusi bilamana pihak perusahaan menemukan masalah yang tidak dapat ditangani sendiri. Namanya…kon…kon…konsu…” Ponijah mengingat-ingat sesuatu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Konsultan maksudmu ?” saut Bu Firda.

“Nah… itulah namanya. Lha posisi kami-kami ini seperti itu seharusnya. Baru turun tangan apabila majikan memerlukan karena tidak mampu mengerjakan sesuatu.” Jelas Ponijah dengan pede-nya.

Meskipun agak menggerutu, tetap saja Bu Firda harus mengakui kehebatan argumen Ponijah. Andai saja dulu ia mampu melanjutkan sekolahnya setamat SMP, tentulah Ponijah tidak akan menjadi pembantu seperti sekarang ini. Bisa saja dia menjadi orator, pemikir atau bahkan anggota DPR sekalipun karena kepandaiannya dalam berargumen dan berorasi. Wajar saja jika di komplek ini, Ponijah yang ditunjuk oleh para pembantu lainnya untuk memimpin organisasi PRASASTI. Meskipun tergolong pembantu baru dan paling muda usianya, pemikiran dan gagasan Ponijah ternyata mampu memperbaiki eksistensi organisasi ini.

Belum lagi dengan kesukaan Ponijah untuk membaca. Jangankan buku sederhana, buku-buku filsafat juga ia telaah semua isinya. Tak jarang Bu Firda secara tak sengaja menemukan Ponijah sedang membaca buku-buku koleksinya yang sebenarnya adalah referensi Bu Firda ketika memberi kuliah pada mahasiswanya. Anehnya, meskipun sekedar pembantu berpendidikan SMP, Ponijah cepat menangkap isi buku yang ia baca. Mungkin kepandaian yang ia bawa sejak lahir.

Sampai di situ, rasa bangga menyelimuti benak Bu Firda. Untung saja dia mendapat pembantu yang agak punya nalar. Tidak hanya pembantu yang kerjaannya hanya ikut-ikutan dan sendiko dawuh tanpa punya prinsip. Padahal di zaman sekarang ini yang katanya zamannya aliran pragmatisme, banyak orang, baik dari kalangan rakyat jelata sampi pejabat tinggi sudah terinfeksi penyakit “asal menguntungkan pribadi sendiri”, ya penyakit akibat virus pragmatis tadi. Dari guru misalnya, ada dari mereka yang lebih memilih mengajar seadanya tanpa mau berlelah-lelah. Penting sudah kerja. Guru macam ini mana mau membuat terobosan dalam pengajarannya, mau mengajar dengan tertib saja sudah untung.
Yang kelihatan lagi para politisi kutu loncat. Kalau partai satu sudah tidak menguntungkan dirinya, lebih baik mencari partai lain yang lebih memberikan harapan. Sukur-sukur dengan tanpa modal dia bisa menduduki jabatan praktis dan strategis dalam kepartaian. Ujung-ujungnya segala cara dilakukan.

“ach…ngapain juga mikir dunia yang antah berantah. Mending mikirin diri sendiri, jangan sampai dijadikan pelayan oleh suami.” Gumam bu Firda. Rupa-rupanya argumen Ponijah sudah mempengaruhi pemikirannya.
Hebat bukan si Ponijah yang satu ini, sampai-sampai majikan yang pendidikannya jauh lebih tinggi mampu ia pengaruhi.

***

Seperti biasa, pagi-pagi sehabis shalat Subuh Bu Firda bersama anak-anak sudah kerja bakti membersihkan rumah. Sulkhan, anaknya yang pertama yang kini menjadi guru PNS di sebuah isntitusi pendidikan, ditugasi menyirami tanaman buah. Hesti, adik Sulkhan yang masih kuliah di fakultas sastra kena giliran menyapu sekeliling taman, dan Bu Firda sendiri mengontrol tanaman-tanaman hias yang ada di dalam pot kecil di samping rumah. Pak Heru, sang big boss, sudah serius menatap komputer untuk menyelesaikan dan mempersiapkan tugas-tugas kantor.
Dimana Ponijah, pembantu kece kita ini ? Tentu sebagai seorang pembantu, ia ditugasi di bagian belakang. Dari mempersiapkan sarapan si empunya rumah, mencuci piring, mencuci pakaian sampai bersih-bersih seluruh ruangan di dalam rumah, tentu saja kamar-kamar tidur menjadi pengecualian. Kata mas Sulkhan demi alasan privasi.

Ponijah, yang memang berbadan mungil dan lincah ini, sejak pagi tadi sudah sibuk di belakang. Selesai menyiapkan sarapan, dia mulai menghidupkan mesin cusi dan kemudian memasukkkan helai demi helai pakaian milik semua majikan.

Seember air hasil campuran dengan salah satu produk pengkilap lantai juga sudah ia siapkan. Tinggal menunggu seluruh tuan rumah pergi beraktifitas. Kalau rumah kosong tentu tak ada lagi yang akan mengganggunya mengepel. Kemarin saja, belum lagi kering lantai sehabis dipel Ponijah, Mbak Hesti dengan seenaknya berjalan menginjak-injak lantai itu. Dengan tanpa dosa, Mbak Hesti kelupaan mencopot sepatunya. Jadilah Ponijah harus mengepel ulang seluruh jejak sepatu Mbak Hesti.

Dari ruang belakang dimana Ponijah menunggu cuciannya, dengan sedikit bersandar pada mesin cuci, Ponijah mendengar deruman mobil Pak Heru. Ini tandanya pak Heru dan Bu Firda sudah berangkat ke kantor. Sebentar kemudian sepeda motor Mbak Hesti juga terdengar erangannya meninggalkan rumah. Kini tinggal menunggu suara mobil Mas Sulkhan.
Tapi sudah setengah jam berlalu, suara yang ditunggu tidak juga terdengar. Atau jangan-jangan Mas Sulkhan berangkat kerja dengan tidak ber-mobil. Bukankah majikannya yang satu ini memang gemar olah raga ?

Untuk meyakinkan dugaannya, Ponijah sengaja pergi ke ruang depan. Setelah mengamati seluruh sudut ruangan dan ternyata tidak nampak satupun majikannya, barulah ia kembali ke belakang untuk mengambil ember berisi air tadi.
Sekembalinya, di tangan kanan ember sudah pada genggaman, di tangan kiri sapu, dan tak lupa kain lap ia selempangkan di pundak.

Sambil menyanyikan lagu BIARKAN AKU JATUH CINTA-nya ST-12, Ponijah mulai menyapu ruang tamu. Tapi belum lagi ujung sapu menyibak kotoran di lantai, mendadak suara seorang laki-laki mengagetkannya.

“ Pon….!”

Ponijah mengarahkan muka mencari-cari sumber suara. Di pintu antara ruang tengah dan ruang tamu ia temukan sosok mas Sulkhan berdiri tegap dengan pakaian olahraga. Diam-diam dari hatinya, Ponijah mengagumi anak pertama majikannya itu. Sungguh atletis, tampan dan cool. “Andai Mas Sulkhan menjadi suamiku….” Batinnya dengan tatapan mata tak berkedip.

“ Pon….!” Suara Mas Sulkhan membuyarkan lamunan indah Ponijah.

“e..e…eee…iya mas, ada apa ? Mas Sulkhan koq belum berangkat kerja ?” jawab Ponijah agak tergagap dan kemudian berbalik Tanya.

“Aku berangkat siang. Ada rapat PGRI nanti. Tolong buatkan aku jus jeruk ya…aku tunggu di beranda samping rumah !” pinta mas Sulkhan.

“Inggih, Mas. Nanti saya antar ke sana.” Jawab Ponijah segera bergegas ke dapur.
Hanya dalam hitungan menit, jus pesanan Mas Sulkhan sudah ia antar ke tempat seperti yang ditunjuk majikannya tadi. Mas Sulkhan sudah terlebih dahulu di sana. Duduk sambil membaca koran hari ini.

Selesai mengantar pesanan minuman tadi, Ponijah berniat kembali meneruskan kegiatannya menyapu. Tapi oleh mas Sulkhan dicegah.

“Duduk sini dulu, Pon. Tidak usah tergesa-gesa. Kalau kamu tidak keberatan, saya mau nanya-nanya ke kamu dulu.” Cegah Mas Sulkhan.

“Ada apa tho, mas ? paling lak yo nggak penting tho ?” kata Ponijah sambil sambil duduk di lantai, persis di depan mas Sulkhan.

“Penting ya nggak penting, tapi nggak penting ya penting. Dibilang cuma iseng juga boleh…” jawab Mas Sulkhan.

“Gimana tho mas Sulkhan ini ?”

“Begini lho, Pon. Apa kamu ini belum punya niatan untuk menikah. Apa ndak kasihan pacar kamu menunggu di desa sana. Keburu jadi perawan tua lho kamu ini !” Tanya mas Sulkhan pada Ponijah.

“Wallllaaaah…mas Sulkhan ini tanyanya koq gitu lho. Mas ini kan tahu umur saya baru saja menginjak 19 tahun. Koq sudah dibilang takut jadi perawan tua.” Jawab Ponijah sambil berkelakar.

“Lho…, menurut orang desa itu, kalau ada perawan yang tidak lekas kawin katanya keburu jadi perawan ‘kasep’ atau perawan tua. Lak gitu tho ?”

“he he he… itu dulu mas. Dan itu juga menurut sebagian orang desa yang masih kolot.” Tegas Ponijah.

“Apa ya terus kamu tega membiarkan pacarmu menunggu. Keburu jadi bujang lapuk dia …” timpal mas Sulkhan.

“Istilahnya mas Sulkhan ini aneh-aneh. Ada perawan ‘kasep’, ada perawan tua, sekarang ada lagi bujang lapuk…soal pacar saya, begini mas…tapi diminum dulu to jus jeruknya…” jawab Ponijah sambil membenarkan posisi duduknya.

“Pacar saya itu lak ya memang sudah tua. Jarak umurnya dengan saya saja sebelas tahun. Dulu sebelum saya berangkat ke sini memang dia sudah ngajak saya kawin. Tapi saya belum siap. Saya masih harus banyak mencari ilmu. Meski untuk kuliah, saya jelas tidak mampu. Tapi..untuk mencari ilmu kan tidak selamanya harus di bangku kuliah tho. Dengan saya menjadi pembantu di rumah ini, ternyata saya bisa mendapatkan banyak ilmu yang mungkin malah tidak ada pelajarannya di bangku kuliah. Dari ilmu membuat lumpia yang renyah dan legit, membuat sayur lodeh ala ‘Bu Firda’ yang super uuenak, sampai tatacara mengepel yang baik, benar dan dengan hasil yang maksimal. Semuanya saya dapatkan di sini, di rumah ini. Dan bukan di bangku kuliah. Gitu, Mas !”

“Terus pacarmu sekarang masih mau menunggu ?” Tanya Mas Sulkhan.

“Menurut kabar-kabar, sekarang dia sudah menikah dengan gadis yang baru lulus SMP. Kabarnya lagi, dia tidak pengin punya istri yang terlalu pinter dan punya pengalaman luas. Pengin dia, istrinya hanya memasak dan ngurusi rumah. Tadinya saya sedih juga ditinggal dia kawin duluan. Apalagi yang bisa merebut hati pacar saya itu cuma anak ingusan, baru lulus SMP. Tapi setelah tahu sosok istri di mata dia, saya malah sekarang jadi bersukur tidak jadi istrinya. Masak istri koq cuma disuruh masak dan di rumah. Kalau saya nggak betah, Mas. Lagian dari buku Mbak Hesti yang saya baca kemarin, pikiran kaya mantan pacar saya itu lak ya persis seperti ide gila-nya Adolf Hitler. Tokoh komunis itu bilang, kalau wanita itu cuma pantas untuk 4-K; kirche, kuche, kinder dan kleider, atau dalam bahasa kita, wanita cuma cocok untuk; di tempat ibadah, di dapur, ngurus anak dan ngurusi pakaian-pakaian semata. Ini penjajahan namanya. Padahal penjajahan kepada wanita semacam ini sudah pernah dihapus oleh Nabi Muhammad. Saya nggak pengin punya suami yang berpikiran seperti Hitler, Mas !” Tanpa sadar, Ponijah mulai kena penyakit lamanya, memberi kuliah pada majikan yang sebenarnya lebih pintar.

“Ya wis.., sana kamu kerja dulu. Kapan-kapan kalau punya waktu, kita ngobrol lagi. Aku juga sudah mau siap-siap pergi rapat !” perintah mas Sulkhan dengan sedikit mencari-cari alas an utuk menghentikan ‘kuliah’ Ponijah. Rupanya dia tahu tanda-tanda kambuhnya penyakit Ponijah.

***

Malam ini rasanya udara sedang enak-enaknya. Angin berhembus semilir. Suhunya juga pas-pasan. Di luar, rembulan sudah menampakkan seluruh bagiannya. Awan tak lagi terlihat dan digantikan oleh kemerlip bintang. Memang tak akan indah langit jika tak ada bintang menghiasinya.

Di ruang tengah, seluruh anggota keluarga sudah berkumpul. Acara biasa untuk mengisi malam mingguan. Pak Heru dan Hesti serius menonton liga Inggris. Sedang Bu Firda yang sebenarnya maniak sinetron, terpaksa mengalah. Beliau mengisi waktunya dengan menyelesaikan membaca tabloid wanita mingguan yang esok hari akan segera berganti dengan edisi baru.

“Kakakmu kemana, Hes ?” Tanya Pak Heu pada Hesti.

“Hesti dari tadi juga nggak lihat Mas Sulkhan. Malam mingguan gini paling dia kumpul-kumpul sama anak-anak di ujung gang.” Jawab Hesti sekenanya. Matanya lebih asyik melihat gocekan bola dari Van Persie daripada harus melihat bapaknya.

“Biarkan saja, Pak. Dia itu sudah dewasa. Biarkan dia cari cewek. Sokur-sokur yang serius. Ibu kan sudah pengin segera punya cucu…” saut Bu Firda santai.

“Mau dapat jodoh dari mana? Lha wong Sulkhan itu gemeteran kalau bicara sama cewek. Cuma sama kamu dan Hesti saja, dia nggak keder.” Pak Heru menanggapi keinginan Bu Firda dengan ketus.

“Ya siapa tahu. Pas lagi jalan-jalan, tiba-tiba ketemu cewek. Terus nyangkut di hati. Jodoh itu kan Gusti Allah yang menentukan. Bukan masalah pede atau gemetar. Dulu saja kamu kalau mau ngapeli aku, pemuda satu RT kamu bawa semua. Katamu biar aman dari gangguan anak-anak kampung, tapi nyatanya itu karena kamu ketakutan dekat sama perempuan. Makanya anakmu sekarang ikut-ikutan kayak kamu, Pak.” Kata Bu Firda membeberkan rahasia cintanya ketika muda.

“Cieee…yang mau romantis-romantisan, mengingat masa lalu. Hesti jadi nggak enak di sini. Pergi saja ahhh. Nonton bolanya di kamar aja.” Goda Hesti pada ibu dan bapaknya.

“Ini juga, anak muda gampang percaya pada omongan yang tidak jelas sumbernya. Yang benar itu, bapak bawa teman biar tidak digoda setan. Gini-gini papa pernah ngaji. Nabi Muhammad mengajarkan: apabila ada wanita dan laki-laki cuma berduaan, maka yang ketiga adalah setan. Siapa yang mau digoda setan ?” Pak Heru membela diri.

Lagi asyik mereka bertiga bergurau, Sulkhan masuk ke ruangan dan langsung mengambil posisi duduk dekat ibunya.

“Bapak dan Ibu, ada yang mau Sulkhan bicarakan !” kata Sulkhan pendek dengan nada serius.
Kontan seluruhnya ikut-ikutan terbawa serius. Pak Heru dan Bu Firda langsung menatap wajah Sulkhan dalam-dalam. Hesti juga ikut mlompong, kebingungan.

Setelah menguasai diri, Bu Firda mulai bicara, “ada apa ? nampaknya serius banget ?”

“Ini datang-datang langsung bikin suasana mencekam. Tidak tahu apa, bolanya lagi rame, MU lawan Arsenal, Mas… rugi kalau terlewatkan !” kata Hesti kemudian.

“Maaf sebelumnya. Tapi ini benar-benar masalah serius. Setidaknya bagi Sulkhan sendiri.” Kata Sulkhan masih dengan gaya diserius-seriuskan.

“Yo wis…cepet ngomong saja. Jangan bikin bapak deg-degan !” Pak Heru angkat bicara.

“E..nganu Pak…e…Sulkhan pengin nikah…..” Sulkhan menjawab dengan gemetar.
Sontak suasana tambah tegang. Setelah tadi Bu Firda menginginkan anaknya dapat jodoh, sekarang anaknya sendiri pula yang minta nikah. Ah..pucuk dicinta ulampun tiba.

“Itu, ibu dengar sendiri. Kelihatannya saja Sulkhan pendiam, seperti takut sama cewek. Tapi nyatanya, diam-diam dia sedang bergerilya mencari jodoh. Kesatria dan jantan itu namanya. Persis seperti aku, Bu.” Kata Pak Heru membanggakan diri.

“halah bapak ini. Kalau ada yang baik satu saja pasti diakui milik bapak. Kalau yang jelek mesti dilimpahkan ibu.” Gerutu Bu Firda.

“Yang benar kamu, Khan ? kamu benar-benar sudah siap nikah ?” Tanya Bu Firda pada Sulkhan. Nampaknya Bu Firda sangat gembira dengan keinginan anaknya yang sebenarnya juga menjadi keinginannya.

“Betul, Bu.” Jawab Sulkhan singkat.

“Terus, wanita mana yang sudah mampu menawan hatimu? anaknya siapa dan kerjanya apa?” Tanya Bu Firda meyakinkan.

Sulkhan tidak langsung menjawab. Dia seolah berpikir mencari jawaban yang tepat agar bapak dan ibunya menjadi yakin. Setelah agak lama befikir:

“Dia wanita yang sederhana tetapi cerdas. Berwawasan sangat visioner dan berpandangan luas. Dia sangat mementingkan arti masa depan. Dia wanita yang tidak sekedar mau menerima nasib apa adanya. Dia seorang wanita pejuang, bagi dirinya dan juga mungkin bagi keluarganya. Dia pula yang mau berkata juga biasa mengerjakan. Dia tipe wanita yang memang Sulkhan idam-idamkan.” Jelas Sulkan menerangkan.

“Bagus kalau gitu. Ibu juga cocok tipe wanita seperti itu. Tapi, namanya siapa, darimana dan kerjanya apa ?” Desak Bu Firda tidak sabar.

“e..e….e……..namanya…..namanya….namanya Ponijah !”

Serasa petir menggelegar di siang bolong. Semuanya menjadi diam seribu bahasa. Ludah Bu Firda tersekat di kerongkongan. Tubuhnya mendadak lemas tidak berdaya seolah seluruh tubuhnya terhempas tanpa tulang.

Pak Heru hanya mampu memelototkan mata di balik kacamata tebalnya tanda tak percaya. Hesti langsung menangis sesenggukan. Semalaman mereka diam tanpa ada kata. Diam dengan pikirannya masing-masing.


***

Seminggu setelahnya, akad nikah dilaksanakan. Sengaja keluarga Pak Heru tidak menyelenggarakan resepsi besar-besaran. Mungkin biar ngirit biaya. Atau yang paling mungkin karena malu punya mantu pembantu. Beliau hanya mengundang warga di kompleks B Perumahan Telukan Indah yang jumlahnya tak lebih dari empatpuluh kepala keluarga. Tak ada handai tolan maupun rekan kerja dari Pak Heru dan Bu Firda. Rekan Sulkhan sesama guru juga tidak terlihat di sana.

Yang paling banyak justru malah para pembantu. Tumpah ruah dan riuh rendah canda tawa mereka memenuhi suasana. Sukarti dengan kebaya merah yang sengaja ia pesan untuk acara pernikahan Ponijah. Mungkin baginya, Ponijah tak akan menjadi saingan dalam memperebutkan cinta Parmin. Sedangkan Parmin, dengan ekspresi yang dibuat-buat tetap berusaha menampakkan kegembiraan. Padahal mungkin saja hatinya tengah pecah. Asanya untuk mendapatkan sang idola musnah sudah.

Para pembantu benar-benar merayakan hari bahagia Ponijah. Hari yang amat bersejarah bagi mereka. Hari dimana mereka, melalui Ponijah, telah mampu membuktikan bahwa tidak ada perbedaan hak antara majikan dan pembantu dalam hal perkawinan. Hari dimana sejarah membuktikan tidak ada jurang pemisah antara majikan dan pembantu manakala cinta telah bicara. Hari dimana seorang pembantu adalah juga individu yang boleh dan bebas memiliki keinginan. Hari dimana sebuah kemenangan telah diraih dari sebuah perjuangan bernama kebersamaan.

Setelah akad selesai, terlihat dua insan yang kini telah disatukan oleh perasaan bahagia. Di ranjang pengantin mereka terlihat sangat sempurna. Sulkhan yang memang lelaki gagah dan ganteng semakin perkasa dalam balutan jas pernikahan. Ponijah semakin cantik dan mempesona dengan pakaian pengantin ala jawa. Tiada satu orangpun yang mampu menduga Ponijah semula berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Bibir tipisnya terus tersenyum. Hidung mancungnya mengembang seolah bangga akan hasil perjuangan hidupnya. Matanya yang bersih terlihat berbinar terang menyiratkan kebahagiaan tiada tara. Dalam suasana ceria, keduanya terlarut hanyut dalam romantisme tanpa membedakan perbedaan status yang sering membelenggu.

Di sudut kamar lain, Bu Firda terus meneteskan air mata. Entah bahagia atau nestapa.

Sumowono, 23 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar