bagaimanakah isi materi cerpen-cerpen kami?

Selasa, 09 Februari 2010

SEBAIT DOA UNTUK AYU SAWITRI

Andai saja malam ini ada siaran bola, tentu aku sudah khusyuk di depan tv sambil menikmati krupuk gendar buatan istriku yang meskipun sederhana tapi sudah menjadi makanan favoritku. Bukan sekedar karena begitu bersahajanya makanan ini, cuma dari nasi turahan kemarin yang dibumbui bleng, tapi juga karena rasa krupuk ini begitu pas di lidahku. Lebih-lebih yang membuat adalah istriku yang sudah 13 tahun ini selalu berada di dekatku. Dia seolah sudah paham beul dengan selera lidahku.

Ayu Sawitri, begitu nama lengkap istriku yang telah memberikan dua anak dari hasil perkawinan kami. Orangnya sederhana, luwes dan nrimo ing pandum. Sepanjang usia perkawinan kami hampir belum pernah ia meminta sesuatu yang memberatkanku sebagai suaminya. Untungnya, ia pandai membuat pemberianku yang sederhana menjadi sesuatu yang cukup sempurna. Jatah uang dapur yang pas-pasan selalu menjadi makanan yang menggairahkan di meja makan. Pakaian sederhana sebatas yang mampu kubelikan, selalu juga pas dan pantas ia kenakan.

Wajah sederhananya tak pernah pula tersentuh aneka polesan alat kecantikan. Tapi justru karena itu, wajahnya terlihat alami khas wanita jawa, hitam manis dengan senyum kecil dari bibir tipisnya. Bibir itu semakin sempurna dengan tutur kata yang lembut. Padaku ia selalu menggunakan bahasa kromo inggil hasil didikan di pesantren dulu.

Suatu hari, orang tuaku pernah mengatakan, “beruntunglah kamu le, dapat istri begitu solehah.” Mendengar itu aku hanya bisa tersenyum bangga sambil mengagibu kesetiaan sang istri yang tetap saja mendampingiku meski hidupku jauh dari istilah kaya.

***

Tapi, malam ini nyatanya tak ada tontonan bola. Krupuk gendar juga mungkin sudah sebulan yang lalu terakhir aku rasakan. Yang ada hanyalah kegelapan malam dengan ilustrasi musik jangkrik yang mengiringi. Yang ada hanyalah tangisan anak-anakku. Yang ada hanyalah kegundahanku yang tak bisa menghentikan tangisan mereka.

Sebulan…ya sebulan aku sudah tidak lagi menemui cemilan favoritku itu. Persis sebulan bersamaan perginya Ayu Sawitri dari rumah. Istriku telah meninggalkan aku dan anak-anak, tanpa bilang apalagi pamit. Seluruh pakaiannya ia bawa. Mungkin hanya yang sudah pantas dijadikan kain lap yang ia tinggalkan.

Ayu sawitri, istriku yang kubanggakan sebagai istri setia kini sudah tak ada lagi. Ayu sawitri yang dengan bangga kukatakan pada keluargaku sebagai istri solehah kini tak terlihat batang hidungnya. Ia pergi entah kemana.

Sebenarnya sudah aku cari dia ke tempat-tempat bisaa ia menghabiskan waktu luangnya. Dari rumah mbak Indah, teman tukar resep masakannya, sampai tempat bulik Asna, temannya dalam pengajian.

Mungkin di rumah orang tuanya? Tapi lagi-lagi aku hanya bisa kecewa. Di rumah mertuaku itu tak ada sosok Ayu Sawitri. Kedatanganku ke rumah itu malah membuat seisi rumah menjadi kelimpungan. Alih-alih aku juga yang disalahkan.

“Mana mungkin Ayu pergi kalau kau tak buat masalah dengan dia !” begitu bapak mertua melabrakku.

“Ayu itu orangnya nrimo ing pandum, tingkahnya tidak aneh-aneh. Selama ini dia dengan setia bersamamu. Kalau sekarang dia pergi tanpa pamit, pastilah hatinya sudah kau sakiti.” Ibu mertua ikut juga menyalahkanku.

Mendengar tuduhan-tuduhan itu aku hanya bisa diam. Kutundukkan kepala sedalam-dalamnya. Kalau saja tidak malu tentu aku sudah menangis mendengar cacian dan tuduhan yang menurutku tak pernah aku melakukannya. Aku hanya bisa merenung, mencari kemungkinan-kemungkinan kesalahan yang tak sengaja aku lakukan.

Sebelum istriku pergi aku tetap memenuhi kewajibanku seperti bisaanya. Uang belanja tetap rutin aku berikan. ‘Jatah malam’ juga tak pernah telat aku laksanakan. Tak pernah pula terdengar komplain ataupun keluhan dari istriku. Dia, seperti bisaa, dengan sabar melakukan tugas-tugas rumah. Waktunya hampir seluruhnya habis untuk mengurus rumah. Dari mencuci, memasak, setrika, ngurus anak-anak.

Kalaupun ada waktu tersisa, bisaanya ia gunakan untuk mengkaji al-Qur’an. Tidak sekedar membaca, ayat demi ayat ia dalami arti dan terjemahannya. Tekun benar dia melakukan hal yang satu ini. Kadang juga aku goda dia, “apa mau jadi mubalighah terkenal meneruskan cita-citamu dulu?”

Mendengar gurauanku ini, dia cuma tersenyum kecil, tidak marah tidak juga tertawa riang. Mungkin kurang lucu gurauanku tadi. Malah dia mengajakku untuk bersama-sama mengkaji kitab suci itu.

“Abi, kalau engkau mau di sini mengaji bersamaku, tentu aku sangat gembira. Kalau saja ada tafsir ayat yang aku tak paham bisa segera engkau menerangkan.” Begitu bujuknya merayuku.
Bukannya aku tak mau berdekat-dekatan mengaji dengan istriku, tapi mungkin aku takut bila tak mampu menjawab pertanyaannya yang bisaanya memerlukan penalaran. Aku sadar, sudah hampir setengah tahun tak pernah aku sentuh al-Qur’an. Dari itu pula aku yakin ilmu-ilmu dari pesantren dulu sudah hilang dari kepalaku. Ayat Qur’an hanya aku baca manakala aku melaksanakan sholat. Itupun terbatas pada surat-surat pendek.

“Ayolah Abi, kita mengaji bersama-sama !” Dia kembali mengajakku.

Segera aku mengelak dengan alasan lelah seharian bekerja. Hanya dengan alasan itulah istriku mau menerima. Mungkin dia tidak ingin menambah kelelahanku.
Tentunya tidak hanya sekali itu saja dia mengajakku mengaji. Dan tidak hanya sekali itu juga aku menolak ajakannya dengan alasan kelelahan.

***

Sudah empat bulan berlalu sejak kepergian istriku. Tetap saja tak ada kabar berita tentangnya. Dia bagaikan hilang ditelan bumi.

Sejak kepergiannya pula tanggung jawabku menjadi ganda. Satu sisi aku harus tetap bekerja, mencari penghasilan untuk keluargaku yang tersisa, minimal untuk kedua anakku. Di sisi lain aku harus bisa menggantikan posisi istriku sebagai ibu rumah tangga.

Kalau hanya sekedar masak, mencuci pakaian, memandikan mereka sebelum sekolah mungkin aku masih bisa menyewa pembantu. Tetapi, mereka tetaplah anak-anak yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Mustahil dapat digantikan oleh pembantu yang hanya aku pekerjakan setengah hari.

Firdaus, anakku pertama yang sekarang berusia sembilan tahun nampaknya sudah agak melupakan ibunya. Kini dia lebih asik dengan mainan mobil-mobilan dan robotnya yang sengaja aku belikan ketika ia sakit panas tempo hari. Ketika itu, dalam igauannya, ia terus memanggil ibunya. Alhamdulillah dengan kedua mainan itu akhirnya ia bisa terhibur.

Berbeda dengan Firdaus, Dzikria, adiknya yang masih empat tahun, tiap tengah malam terus saja merengek bertanya dimana ibunya.

“Abi….adik kangen ibu!” begitu rengek Dzikria malam ini sambil terus mengelap air matanya.

“ya. Kapan-kapan kita cari ibu bareng-bareng” bujukku.

“enggak mau, adik penginnya sekalang !” rewelnya semakin menjadi.

Segera kurengkuh tubuh mungilnya. Kugendong dan ku ajak keluar mencari angin yang lebih segar. Benar saja, di luar rumah udara terasa semilir. Kupandangi bulan yang baru menampakkan separo badannya. Suasana malam terasa lebih nikmat dengan erikan jangkrik yang bersahut-sahutan. Ilustrasi alam semakin lengkap dengan suara kodok dari sawah di pinggiran desa.

“Iya..adik yang sabar ya ! sekarang ibu lagi kerja biar dapat uang yang banyak. Terus kalau uangnya sudah terkumpul, bisa berlibur bersama. Adik, Abi, Ibu, dan kak Firdaus nanti jalan-jalan bersama.” Aku mencoba menghiburnya. Kulihat sebentar, tangisnya mulai mereda.

“Kalau jalan-jalan, adik maunya kemana ?” pancingku lagi agar kenangan anakku akan ibunya sedikit terlupa.

“Adik maunya ke watel boom aja, abi. Adik mau lenang. Kata bu gulu kalau kita lenang, ntal badan adik bisa cepet tinggi kaya abi. Adik nggak mau badan adik kaya bang mansul yang pendek.” Dengan lidahnya yang masih sedikit kaku, anakku membayangkan keinginannya. Alhamdulillah, dengan sedikit pancinganku tadi akhirnya tangisnya bisa benar-benar reda.

“Kalau begitu, adik harus segera tidur. Siapa tahu besok pagi kita bisa jalan-jalan. Adik tidur dulu ya ??!!” kataku.

“Iya, abi. Tapi abi halus celita tentang Nabi Muhammad dulu, balu nanti adik tidul.” Dia menjawab dengan gayanya yang sangat polos. Andai tidak di depan anakku, dengan melihat kepolosannya, tentulah aku sudah menangis.

Dzikria tetap kugendong. Dengan kutambah sedikit timangan, aku berharap ia segera tidur. Aku mulai bercerita seperti keinginannya. Ku ceritakan kisah Nabi Muhammad sedari kecilnya. Ku ceritakan pula bagaimana derita beliau manakala ibunda beliau meninggal. Kuceritakan juga derita beliau ketika harus beklerja menggembala domba dan ikut berdagang ke negeri Syam. Kuceritakan semua kisah sedih Rasulullah. Pada akhir cerita, kukisahkan sang baginda rasulullah menemukan kebahagiaan yang tiada tara, kebahagiaan dunia dan akhirat. Setelahnya, kututup cerita dengan sedikit kesimpulan tentang “inna ma’al usri yusra”, setelah kesedihan pastilah ada kebahagiaan.

Lama bercerita sambil tetap menggendong, kulihat mata anakku sudah terpejam. Ia terlihat tenang. Pastilah ia sudah tidur dan bermimpi berenang di water boom seperti keinginannya.
Aku segera menuju ke dalam ruang tidur anak-anakku. Dengan perlahan dan pelan, aku letakkan badan anak perempuanku berharap tak terbangun.
Tapi tiba-tiba…..

“Ibu sudah meninggal, abi. Ibu sudah meninggal, abi… Ibu…Ibu…Ibu...” Dzikria mengigau sambil tangannya bergerak-gerak seolah menggapai-gapai sesuatu.

“Astghfirullahal ‘adzim…” batinku. Segera kupeluk tubuh anakku agar ia bisa kembali tenang.

Dengan penuh kasih sayang dan sedikit elusan, akhirnya Zdikria kembali pulas dalam tidurnya.
Sekarang gantian aku harus merebahkan tubuhku. Setibanya di kamar, segera kubanting badanku yang sudah terasa penat. Achh…begitu enaknya.

Kerja berat hari ini terbayang. Pagi sekali aku sudah dibangunkan Pakdhe Parjo yang minta pertolongan karena anaknya kejang-kejang epilepsinya kambuh. Dia minta diantarkan ke Rumah Sakit. Di kantor, meski dengan rasa kantuk melanda karena kurang istirahat, aku tetap berusaha menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku. Di rumah kembali anak-anak sudah menanti kasih-sayangku dengan berbagai permintaan. Dari minta ditemani bermain sampai mengajari mereka belajar.

Setelah seharian bekerja dan dilanjutkan aktifitas di rumah sampai mengurus anak, tidak ada lagi pekerjaan yang mengenakkan kecuali berbaring di tempat tidur seperti saat ini.

Dengan posisi tidur, kubaca artikel-artikel ringan pada surat kabar hari ini, berharap lekas tidur. Tapi meski badan kelelahan tak juga mataku mau terpejam. Pikiranku terus terbayang igauan Zdikria tadi. Benarkah istriku sudah meninggal ? Jika benar, dimanakah ia dikuburkan ? Mengapa juga ia harus meninggalkan kami bertiga sebagai keluarganya ?

Bermacam pertanyaan berkecamuk di dalam benak, meski tak satupun kutemukan jawabannya. Mungkin saja istriku benar-benar sudah meninggal. Bukankah orang bilang, perasaan anak sangat dekat dengan ibunya. Bisa saja Zdikria mengigau karena benar-benar tahu dari kedekatan perasaannya terhadap ibunya.

Lama aku berpikir, terasa badan dan pikiranku limbung. Dan sampai akhirnya…….

***

Belum lagi terbangun, aku dikejutkan oleh suara pintu belakang yang digedor oleh seseorang. Kupicingkan mata pada jam yang tepat berada di samping tempat tidurku. Baru pukul 03.45.
Siapa sepagi ini yang telah tega mengganggu tidurku. Kalau bukan orang yang kurang kerjaan pastilah orang yang benar-benar sedang butuh pertolongan. Atau jangan-jangan itu Pakdhe Parjo yang anaknya kemarin kejang-kejang kena penyakit epilepsi.

Aku melompat dari tempat tidurku. Dengan hanya mengenakan sarung dan kaos seadanya, aku segera menuju pintu belakang dimana terdengar gedoran yang amat keras. Semakin dekat dengan pintu yang kutuju, semakin keras suara terdengar. Pastilah telah terjadi sesuatu pada anak pakdhe Parjo.

Sesampainya di ruang belakang, aku lihat kedua anakku telah lebih dahulu berada di sana. Mereka berdua duduk bersimpuh sambil menangis ketakutan. Mungkin mereka kaget dengan suara gedoran pintu tadi dan membayangkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Wajar saja anakku ketakutan, maklum beberapa bulan terakhir ini mereka seperti mendapat tekanan akan kepergian ibunya. Akibatnya perasaan mereka sangat sensitif. Mendengar suara keras sedikit saja bisa membuat mereka ketakutan. Mereka benar-benar dalam keadaan trauma psikologis.

Kurengkuh keduanya dan kukatakan tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Kuterangkan pula, itu hanyalah pakdhe Parjo mau meminta pertolongan.

Dengan tetap menggandeng keduanya aku menuju pintu, berharap tak terjadi apa-apa pada anak pakdhe Parjo.

Kubuka pintu dan ………
Ma syaallah…Ayu Sawitri kembali.

***

Seminggu berlalu semenjak pulangnya Ayu Sawitri ke rumah. Seluruh waktunya ia habiskan untuk berkumpul bersama anak-anak. Mungkin dia sengaja untuk membayar waktu yang ia telah habiskan ketika pergi selama ini. Kadang-kadang dengan tanpa sepengetahuan anak-anakku, kulihat dari kejauhan, istriku menangis, seperti menyesali perbuatannya.

Sedangkan anak-anak tentu saja merasa gembira. Mereka berdua seolah kompak ingin menumpahkan rasa kangen pada ibunya. Selalu dengan rasa manja, kulihat mereka bertiga bermain bersama. Kadang jika Zdikria minta digendong ibunya, Firdaus tak mau kalah. Ia mencari tubuh ibunya yang masih bisa ia gendongi. Akhirnya Firdaus di belakang dan adiknya di depan. Meskipun keberatan dengan beban tubuh kedua anak-anak, istriku tetap merasa senang.
Sedangkan aku… Aku belum sepenuhnya merasakan kegembiraan atas kembalinya istriku. Belum juga bisa kutemukan semangat hidup seperti sediakala.

Jujur, aku belum bisa memaafkan sepenuhnya alasan istriku meninggalkan rumah.

Kemarin malam di hari ketiga kepulangannya, setelah menidurkan anak-anak, istriku menyusulku ke ruang tidur. Aku kira ia ingin tidur di sebelahku. Bagaimanapun dia belum aku ceraikan. Dia tetaplah Ayu Sawitri yang menjadi hak dan tanggung jawabku. Dia masih sah dan halal bagiku untuk menyentuhnya. Wajar sebagai lelaki alu mengharapkan hal yang satu itu.
Perkiraanku salah. Dia hanya duduk dipinggiran tempat tidur.

“Abi, aku ingin bicara !” katanya dengan suara dan wajah yang serius. Tak pernah sebelumnya aku mendengar suara serius seperti ini dari mulutnya.

Segera aku bangun dan duduk di sebelahnya.

“Ada masalah apa ?” kataku.

“Sebelumnya aku mau minta maaf. Aku juga mau menceritakan kemana dan buat apa aku pergi selama ini.” Begitu kata Ayu mengawali pembicaraan.

“…ehmmm,” aku hanya mendesah, mencoba mengatur rasa dan pikiran agar tetap sabar.

“Abi…, aku pergi sebenarnya bukan untuk berbuat maksiat. Apalagi untuk berselingkuh dengan sengaja meninggalkan abi di rumah sendirian mengurus anak-anak. Terus terang, selama ini aku selalu berpikir tentang apa yang aku baca di dalam al-qur’an. Semua terjemahan yang turut serta aku kaji semakin membuat kepala dan otakku penuh dengan pertanyaan. Dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, aku sangat tertarik mengetahui dan mendalami Islam. Aku ingin lebih dekat dengan Allah…”

“Untuk menjawab pertanyaanku, tentu tak bisa aku dapatkan dari Abi. Abi selalu kelelahan setelah kerja seharian. Setiap aku ingin bertanya, dengan alasan kelelahan itu abi menolak untuk mengaji bersamaku. Untuk itu, aku sengaja pergi ke rumah ustazd Mukhlis untuk menanyakan segala yang berkecamuk di pikiranku. Tetapi semakin beliau banyak menjelaskan, semakin banyak pula pertanyaan yang muncul berikutnya. Jadilah kuputuskan untuk menginap di rumahnya. Di sana aku berkumpul dengan banyak ibu-ibu dari luar kota yang sengaja menimba ilmu tentang agama Allah. Mereka, sama halnya dengan diriku, ingin lebih dekat dengan Allah….” Lanjutnya.

Aku diam saja, sengaja memberikan waktu baginya untuk menyelesaikan cerita.

“ Begitu banyak ilmu yang telah kudapatkan dari beliau. Tetapi seperti ulama katakan: semakin banyak ilmu kita dapatkan, semakin pula kita tahu ada lebih banyak ilmu yang belum kita ketahui. Untuk itu, Abi….” Sampai di situ, Ayu tak segera meneruskan pembicaraannya. Seolah ragu dan takut, ia menghentikan pembicaraannnya.

Kulihat wajah istriku memerah dengan wajah tertunduk dalam. Pastilah ada sesuatu yang teramat penting yang hendak ia katakan.

“…untuk itu, Abi….ijinkan aku untuk memintai cerai darimu dan menikah dengan ustazd Mukhlis.”

Langit seolah menjadi gelap. Petir menyemburkan segala kebisingan suaranya. Kilat sekan ikut menyambar tubuhku. Aku limbung mendengar permintaan yang tentu tak pernah aku duga sebelumnya. Pikiranku kalut tak menentu. Benarkah yang kudengar barusan ? apakah aku sekedar bermimpi ? semua berkecamuk menjadi satu dalam pikiran yang tidak menentu.

Mungkinkah istriku meminta cerai dariku hanya untuk menikah dengan ustazs Mukhlis yang usianya hamper mendekati ujungnya. Mungkinkah istriku meminta cerai dariku hanya untuk menikah dengan ustazs Mukhlis yang telah beristri tiga. Allahu akbar…

Kun fayakun. Yang terjadi maka terjadilah. Atas izin Allah, Tuhan yang mampu membolak-balikkan hati dan perasaan manusia, dua bulan setelahnya, istriku benar-benar menikah dengan ustazs Mukhlis. Tentu saja setelah ia kuceraikan ia dan telah pula melewati masa iddahnya.
Aku tak akan menyalahkan siapapun. Tak akan kusalahkan Al-Qur’an yang telah menjadi alasan istriku mendalami Islam dan berujung pada kedekatannya pada ustazs Mukhlis. Tak akan juga kusalahkan istriku yang dengan semangatnya belajar agama berujung pada tuntutan cerai. Tak akan juga kusalahkan ustazs Mukhlis yang dengan pendekatan dan cara pengajarannya yang berujung pada ketertarikan sitriku pada beliau.

Yang pantas kusalahkan hanyalah diriku sendiri. Diriku yang tak mampu memenuhi nafkah batin pada istriku. Bagaimanpun persoalan jiwa, persoalan rasa dan persoalan kepuasan batin adalah persoalan nafkah batin yang harus kutunaikan pada istriku. Termasuk kehausan istriku akan agama yang tak mampu kupenuhi dan kusembuhkan rasa dahaga itu. Akulah yang salah, yang telah selalu menolak ajakan istriku untuk mengaji bersama.

Dalam kebahagiaan istriku, aku tak mampu menghadiri akad pernikahan mereka berdua. Kuambil kertas untuk menulis ucapan selamat dan doa. Biarlah nanti Mbok Karti yang mengantarkan surat itu.

Kutulis….

Teruntuk mantan istriku yang tengah berbahagia,
Semoga limpahan hidayah, anugrah dan berkah tetap Allah berikan pada kita semua, hambaNya yang dhoif. La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil adzim.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan pada Nabi Muhammad yang telah mengajarkan tatacara perkawinan suci nan luhur pada semua umatnya, termasuk kita.
Ayu Sawitri yang berbahagia,
Tentulah hari ini adalah hari yang amat membahagiakan bagimu dan suami barumu. Untuk itu perkenankan aku mengucapkan selamat berbahagia atas sunah yang engkau laksanakan. Semoga dengan sunah ini, dahagamu akan seluruh ilmu yang tak kau dapatkan dariku, dapatlah terhapuskan dari pengetahuan dan ilmu suami barumu.
Ayu Sawitri yang berbahagia,
Dengan rendah hati ingin aku katakan, sejujurnya rasa cinta dan kasihku tetaplah menyelimuti jiwaku. Keringnya rasa yang kau miliki padaku, tak akan mampu mengeringkan cintaku yang sudah terlanjur kita bina bertahun-tahun. Meskipun, pada akhirnya engkau memilih jalan yang lebih baik menurutmu.
Hanyalah doa yang pantas dan bisa aku berikan, semoga jalan yang kau pilih merupakan jalan yang paling baik pula menurut Allah bagi kita, bagi anak-anak dan juga suami barumu.
Tak pantas jika terlalu panjang surat ini aku tulis.
Sekian dan terima kasih
Dariku
Arman

Selesai menulis, aku tak kuat lagi menahan tubuhku yang sedari tadi terasa berat. Panasnya suhu badan diikuti rasa kedinginan semakin menjadi. Airmata sudah terlalu kering untuk aku tumpahkan.

Dan akhirnya aku jatuh tak sadarkan diri. Tetap dalam kesendirian…..

Sumowono, 6 Desember 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar