bagaimanakah isi materi cerpen-cerpen kami?

Selasa, 12 Januari 2010

KETIKA CINTA HARUS MEMILIH

Dingin. Meskipun ia telah mengenakan jaket tebal dan sebuah sarung yang ia lipat dan dikalungkan di lehernya, namun hawa dingin itu masih juga terasa menusuk tulang. Ia gosokkan telapak tangan kanan dan kirinya. Ia berjongkok dan mengambil batu di depannya untuk ia jadikan tempat duduk. Dengan perlahan-lahan, ia letakkan pantatnya ke batu yang tidak begitu besar tersebut setelah ia mengusapnya untuk menghilangkan debu di atasnya. Hampir dua bulan ini, Faisal mengikuti Kuliah Kerja Nyata yang diadakan kampusnya, sebuah perguruan tinggi agama Islam negeri di Kota Salatiga. Faisal mendapat tugas di daerah pegunungan di ujung timur Kabupaten Magelang yaitu di Kecamatan Pakis, dan ini adalah malam terakhir ia tinggal di desa ini.
Faisal masih ingat beberapa jam yang lalu, ketika acara perpisahan tim KKN dengan warga desa. Bekerjasama dengan Remaja Masjid, Faisal dan kawan-kawan mengadakan pengajian akbar. Seluruh anggota kelompok mendapatkan pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Faisal kebagian jatah mengisi acara inti, mauidhoh khasanah. Hal ini bukannya tanpa alasan, karena Faisal adalah satu-satunya mahasiswa yang juga menjadi santri di salah satu pesantren terkenal di Salatiga. Sebenarnya bukan dia yang harus mengisi pengajian tersebut, namun ketika acara akan dimulai, ada berita mendadak yang mengabarkan bahwa kiai yang akan mengisi sakit sehingga tidak bisa menghadiri acara pengajian tersebut, panitia pun kalang kabut, akhirnya dengan sedikit memaksa disepakatilah Faisal sebagai pembicara pada acara tersebut.
Pada awalnya Faisal sedikit grogi dalam memberikan pengajian karena memang Faisal belum pernah mengisi sebuah acara pengajian apalagi yang hadir adalah warga satu desa ditambah rombongan dari bapak ketua jurusan. Beruntungnya Faisal hidup di lingkungan keluarga pesantren. Abahnya adalah seorang kyai di desanya, sehingga pengajian bukanlah sesuatu yang asing bagi Faisal - meski selama ini masih sebatas sebagai pendengar saja. Ditambah lagi Faisal merupakan santri senior di pondoknya, ia sering di ajak nderekke pak kyai berdakwah mengisi pengajian di desa-desa, ia selalu memperhatikan semua pengajian yang disampaikan kyainya dan akhirnya pengajian malam itu dapat dilaluinya dengan tanpa halangan yang berarti.
Malam semakin larut namun Faisal tak juga beranjak dari tempatnya merenung. Ada raut kesedihan, keragu-raguan atau entah raut muka apa yang tergambar pada wajahnya. Berulangkali ia mendesah seolah memikul beban yang amat berat. Semua itu berawal sehabis ia mengisi pengajian tadi. Ketika acara baru saja selesai, Pak Zuhdi seorang guru agama di sekolah dasar desa tersebut menemuinya. Ia mengatakan dengan terus terang kepada Isal bahwa anaknya yang bernama Dewi sang ketua remaja Masjid Nurul Iman menangis di hadapan bapaknya pada sore hari sebelum malam perpisahan itu. Ia berterus terang bahwa ia amat mencintai Faisal.
“Sal, ngapain kamu di situ”, teriak Anas sang ketua kelompok.
“Gak apa-apa Nas, aku hanya lelah saja kok”.
“Cepet pulang, kamu dicari Dewi di posko!
Hati Faisal berdesir mendengar nama Dewi disebut segera ia bangun dan pulang menuju posko. Sementara ia lihat teman-temannya masih sibuk bersenda gurau dengan para pemuda kampung. Faisal berjalan dengan langkah setengah berlari, ia ingin cepat-cepat sampai ke posko yang sebenarnya tidak begitu jauh itu.
“Assalamu’alaikum”. Ucap Faisal begitu sampai di depan pintu posko.
“Nah…..ini dia yang ditunggu-tunggu,” bukan jawaban salam yang diperoleh namun ledekan para penghuni posko yang terdengar serempak.
Dewi yang duduk di ruang tamu hanya senyam-senyum, kepalanya tertunduk ada rona malu di wajahnya. Dada Faisal berdetak dengan keras, degup jantungnya naik turun, ia terkesima pada kecantikan Dewi dengan balutan kerudung putih pada wajahnya, mahasiswi Fakultas Psikologi semester empat di Universitas Negeri di Magelang itu tampak anggun dengan baju gamis warna biru muda yang dikenakannya. Faisal mengatur ritme nafasnya perlahan-lahan ia berusaha menguasai perasaannya.
“ Kamu belum pulang to Wi”. Tanya Faisal dengan agak gugup.
“Sudah mas, tapi kesini lagi setelah bapak pulang tadi, mas Isal sudah mendengar semua dari bapak to?
“ Sudah wi, tapi….”
“ Tapi apa mas, apa mas Isal sudah punya yang lain?”
“ Bukan begitu Wi, aku tidak bisa memutuskan dalam waktu sesingkat ini, tapi aku janji aku pasti akan memberikan jawabannya”.
Keduanya terdiam, mereka sibuk dalam pikirannya masing-masing, Dewi terdiam dengan menyimpan sejuta harapan sedangkan Isal terdiam dengan setumpuk keraguan yang menghadang. Ketika suasana semakin kaku karena komunikasi yang belum juga terbangun, mereka diuntungkan dengan datangnya Farida, teman sekelas Isal yang terkenal pintar membanyol itu. Ia membawa tiga gelas teh hangat dan ikut nimbrung di ruang tamu itu. Akhirnya dalam waktu yang tidak lama, Dewi pulang ke rumahnya karena jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.00 dengan diantar oleh Isal dan Anas.
Keesokan harinya Isal hanya berpamitan dengan pemilik rumah yang ditempati sebagai posko saja, Isal tidak mampir ke rumah Pak Zuhdi karena Faisal tahu bahwa rumah itu tidak ada orangnya. Ayah Dewi pasti ada di sekolahan sedangkan Ibunya juga seorang guru TK sedang Dewi sendiri juga sudah berangkat kuliah pagi-pagi tadi, hal ini diketahuinya dari sms Dewi sehabis subuh tadi. Dengan diantar sampai ujung desa oleh para penduduk, Faisal dan rombongannya meninggalkan Desa Pakis yang menjadi kenangan mereka selama dua bulan tersebut.

®®®

Jarum jam baru menunjukkan pukul 8 pagi. Tampak Faisal sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Yamaha Vega R yang menjadi teman setianya sejak ia kuliah di Salatiga itu sudah ia keluarkan dari kandangnya. Terdengar dari dalam aula suara teman-teman Isal yang masih mengaji atau bersenda gurau. Isal memang tinggal di sebuah pondok pesantren mahasiswa di pinggiran Kota Salatiga. Sejak pulang dari KKN kemarin Faisal belum kembali ke rumahnya di Undaan Kudus, ia langsung menuju pondoknya. Namun ia berencana untuk pulang siang nanti, Faisal ingin secepatnya mengadukan persoalan yang dihadapinya dngan orang tuanya.
Hari ini Isal ada janji dengan teman-temannya untuk menyusun laporan kegiatan KKN kemarin karena para mahasiswa yang mengikuti Kuliah Kerja Nyata harus sudah memberikan laporannya kepada Fakultas satu minggu setelah KKN selesai. Dengan mencangklong tas punggung kesayangannya serta helm cakil yang sudah buram catnya itu tiba-tiba Isal urung untuk menaiki sepeda motornya karena HP Nokia 3310 nya berbunyi. Ada SMS masuk.
“Ass. sedang apa mas, sudah matur sama abah lom?” ternyata SMS dari Dewi.
‘alaikumslm, maaf Wi, aku blm s4 plg rumah, coz masih mo buat laporan KKN”.
“gpp mas, yang penting jawabannya aku tuggu,I M U”.
Sejenak Faisal tertegun membaca kata terakhir SMS dari cewek calon sarjana psikologi tersebut, ingin ia membalas namun belum sempat menulis ada SMS yang masuk lagi yang ternyata dari Anas yang mengabarkan bahwa dirinya telah ditunggu teman-teman di kampus, akhirnya ia urungkan membalas SMS Dewi karena ia harus cepat-cepat sampai di kampus.

®®®
Sehabis salat Magrib, Faisal berencana matur kepada abah tentang persoalan yang ia hadapi. Sebenarnya ia ingin menyampaikan sore tadi ketika baru saja tiba di rumah, namun ia melihat abahnya sedang asyik berbincang-bincang dengan seorang tamu. Tampak sekali kalau abahnya dengan tamu tersebut sangat akrab. Berulang kali tawa keduanya terdengar berderai. Meskipun perasaannya sudah meledak-ledak untuk menyampaikan isi hati kepada orang tuanya, Faisal harus bersabar sampai tamu abahnya itu pulang. Beban hati yang ditanggungnya dari Salatiga tadi pagi dengan terpaksa harus ditahannya lebih lama lagi. Akhirnya Faisal menghabiskan waktu sore dengan tiduran di kamar untuk melepas lelah setelah selama hampir dua jam ia berkendara sepeda motor dari Salatiga. Alih-alih bisa tidur, untuk memejamkan mata saja Faisal sulit karena bayangan Dewi dan orang tuanya terus saja menari-nari di pelupuk matanya.
Dengan kegelisahan yang menyeruak Faisal sudah mendahului abahnya duduk di ruang tengah rumahnya. Ia sudah sangat hafal dengan kegiatan bapaknya, hampir dipastikan sepulang dari masjid, abahnya pasti akan duduk di ruang keluarga asyik melinting tembakau “Dadi” kesayangannya sembari menunggu waktu Isya’ tiba. Namun ternyata Faisal salah mengira sebab semuanya telah berbeda dengan sebelum ia melanjutkan kuliah di Salatiga, abahnya harus menggantikan pak dhe Ridwan mengajar diniyah di serambi masjid sejak pak dhe Ridwan sakit-sakitan, begitu jawab ibunya setelah ia bertanya mengapa abah tidak segera pulang. Maka, jadilah waktu Magrib hari itu seolah-olah menjadi waktu Magrib yang paling panjang dalam hidup Faisal hingga akhirnya terdengar suara azan isya’ berkumandang, maka hati Faisal menjadi sedikit lega.
“ Bagaimana KKNmu, Sal?” Tanya abahnya setelah pulang dari masjid.
“ Alhamdulillah, semua lancar Bah” jawab Isal dengan sedikit bergetar.
“Sal, aku ingin ngomong persoalan serius dengan kamu, aku harap kamu dapat mempertimbangkan baik-baik hal ini”.
“Insyaallah Bah, namun masalah apa Bah?”
“Ini tentang kamu, tentang keinginan almarhum kakekmu, tentang perjuangan yang telah dirintis oleh beliau, dan juga tentang masa depanmu”. Sejenak abahnya Faisal menghisap tembakau yang sudah ada di sela-sela jari kanannya kemudian ia lanjutkan lagi bicaranya.
“Sore tadi Kyai Syukron, teman abahmu nyantri di Poncol dulu kesini, beliau menanyakan tentang kamu, beliau bermaksud menjodohkan Aisya, putrinya yang sudah hafizoh itu dengan kamu”.
Bagaikan disambar petir di siang bolong perkataan abahnya itu mengagetkan Faisal. Dengan sekuat tenaga Isal menyembunyikan kekagetan itu dari wajahnya.
“Ta..tapi bah, Isal kan belum selesai kuliahnya terus Isal kan juga belum punya pekerjaan yah ?”
“Jangan khawatir, kamu dapat menyelesaikan kuliahmu dulu, Kyai Syukron hanya menunggu kepastianmu itu saja...
“ Tapi bah,” potong Faisal. “Isal kan juga belum punya pekerjaan”.
“Soal itu kamu juga tidak perlu khawatir, Kyai Syukron sudah memikirkannya”.
“Isal akan pikir-pikir dahulu bah”.
“Baiklah, tetapi satu hal yang harus kamu ingat bahwa hal ini adalah keinginan kakekmu, juga menurut pendapatku hanya ditanganmulah pesantren kakekmu di desa ini dapat hidup kembali, namun semua ini tergantung keputusanmu sendiri”.
“Baik bah, doakan Isal dapat mengambil keputusan yang terbaik”. Jawab Faisal sambil berlalu meninggalkan abahnya menuju ke kamar.
Hampir semalaman Faisal tidak dapat memejamkan matanya, pikirannya terus berkelana mencari jawaban antara dia menerima Dewi atau mengikuti kehendak ayahnya. HP miliknya ia matikan, karena dia sangat yakin bahwa Dewi pasti akan berusaha menghubunginya sedangkan Faisal belum memiliki jawaban.
Ayam sudah berkokok sebagai tanda fajar akan menjelang, lambat laun suara azan subuh terdengar mengalun. Segera Faisal bangun dari tidurannya, diambilnya air wudu untuk melaksanakan salat subuh. Selesai salat barulah Faisal dapat memejamkan matanya hanya untuk satu jam karena jam 10 ia harus sudah sampai di Salatiga kembali.

®®®

Sepulang dari kampus Faisal langsung pergi ke ndalem. Disamping akan menyampaikan salam abahnya kepada pak kyai, Faisal juga bermaksud meminta nasehat kepada beliau tentang permasalahan yang dihadapinya. Memang sudah menjadi kebiasaan anak-anak santri di pondoknya apabila mempunyai persoalan yang serius selalu lari kepada pak kyai. Mereka sudah menganggap Pak Kyai dan Bu Nyai sebagai orang tuanya sendiri. Para santri tersebut berharap dapat menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapinya, atau paling tidak mendapatkan penenang jiwa dari nasehat-nasehat yang disampaikan oleh beliau.
“Apakah tidak sebaiknya kamu salat istikharoh dulu Sal?”, kata pak kyai setelah Faisal menceritakan semuanya.
“Baik kyai”, jawab Faisal pendek.
“Kalau boleh tahu kyai, isyarat apa nantinya pada hasil usaha kita setelah salat istikharoh kyai?” sambung Faisal.
“Keyakinan hati kamu”, Jawab Pak Kyai singkat.
Ada sedikit perasaan lega di hati Faisal, iasegera kembali ke pondok setelah sebelumnya berpamitan kepada pak kyai. Terbersit sebuah perasaan bahwa keputusan yang akan diambilnya akan sedikit bertentangan dengan hatinya, namun Faisal terus meneguhkan hatinya untuk menyerahkan urusan ini kepada Allah, ia akan khususkan malam ini untuk mermunajat memohon pertolongan dan petunjuk kepadaNya.

®®®

Sepertiga malam yang terakhir adalah waktu yang mustajabah untuk berdoa. Dalam keremangan kamar pondoknya, Faisal masih bertafakur memutar tasbih di tangan kanannya. Bibirnya tek henti-henti menggumamkan kalimat pujian kepada sang Pencipta cinta. Sajadah yang telah basah oleh air mata seolah ikut larut berzikir melantunkan tasbih, tahmid, takbir dan istighfar yang menggema dan memenuhi relung hati Faisal. Sebuah doa ia ucapkan dengan hati yang ikhlas dan mengharapkan kasih sayang sang Tuhan untuk menunjukkan hambaNya yang sedang berada dalam persimpangan jalan. Kedua tangannya ia tengadahkan ke langit untuk menyambut kasih sayang dari Yang Maha Rahman dan Rahim. Dengan mata yang bercucuran airmata dan hati yang merasa hina mulutnya terus menerus mengulang permohonannya kepada Allah.
“allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka biqudrotika wa asaluka min fadlika al ‘azim”
Dalam zikir panjangnya itu, Faisal berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia merasa seolah-olah semua benda yang ada dalam ruangan itu ikut berzikir memuji Allah, suara-suara tasbih, takbir dan tahmid terngiang-ngiang di telinganya, semua yang berujud makhluk seolah tidak mau ketinggalan meramaikan suasana malam itu. Tidak lama sesudah itu mendadak semuanya menjadi hening, hanya detik-detik bunyi jarum jam yang terdengar. Dalam keasyikannya menikmati kesunyian, Faisal melihat dengan samar-samar sebuah bayang-bayang seseorang yang sudah tua mendekatinya. Faisal merasa bahwa ia sudah sangat mengenalnya, namun ia belum pernah melihatnya, namun Faisal yakin bahwa itu adalah kakeknya, ya orang itu adalah ayah dari abahnya yang sudah wafat jauh sebelum Faisal lahir. Orang itu semakin dekat dan ia tersenyum kepada Faisal. Entah kenapa melihat senyuman orang tua yang ia yakini sebagai kakeknya itu hati Faisal bagai diguyur air es di padang sahara, sejuk bagai embun pagi yang belum hilang diterpa panas matahari. Hati Faisal begitu damai.
Faisal mengakhiri qiyamu lailnya ketika terdengar sayup-sayup suara azan subuh memecah kesunyian, segera ia pergi ke masjid untuk salat subuh berjamaah. Sehabis salat barulah Faisal sadar dengan peristiwa aneh yang dilalui pagi buta tadi. Kakeknya datang menemui, seakan itu semua adalah isyarat yang menjadi jawaban dari pertanyaannya selama ini. Hari itu adalah Hari Jumat dimana kegiatan pengajian subuh libur. Faisal memanfaatkan waktu untuk membaca surat yasin kemudian ia lanjutkan membaca tahlil yang ia khususkan kepada almarhum kakeknya. Setelah selesai berdoa diambilnya HP miliknya, dihidupkannya HP yang sudah tiga hari ini selalu dinonaktifkan. Faisal telah telah sampai keyakinannya, bahwa ia akan menerima dengan ikhlas keputusan abahnya untuk dijodokan dengan Aisya, putri dari sahabat abahnya, meski nun jauh di sana Faisal tahu sang calon psikolog akan berurai air matanya membaca SMS darinya.

“Allahummagfirlana dzunubana wa khothoyana kullaha….”

Watuagung, 22 Desember 2009

Senin, 11 Januari 2010

JON MARMUT

Nama panggilannya Jon Marmut (meski nama sebenarnya bisa dibilang sangat bagus: Muhammad Manshuril Mahmud). Perawakannya pendek, agak gemuk dengan perut agak buncit. Dan, mulutnya itu lho, sukar sekali untuk dirapatkan, terhalang oleh giginya yang senantiasa pengen memperlihatkan diri. Dari bodinya itu, menurut orang jawa sih disebutnya demplek, yah…mirip-mirip hewan marmut alias kelinci. Mungkin nama panggilannya itu ia dapatkan dari bodi dempleknya ditambah dengan nama belakangnya itu.

Dari segi pembawaan, jelas dia bukanlah lelaki tulen yang biasa jadi idaman para gadis-gadis desa ditempatnya. Alih-alih malah ia lebih endel dan kemayu dibanding gadis-gadis desa itu. Malahan, karena pembawaannya itu ia sering dianggap banci. Wualah…marah betul ia jika mendengar ejekan tersebut. Jon merasa dirinya lelaki sejati. Soal pembawaan yang kalem, menurutnya sudah gawan bayi. Tapi bukan berarti orang-orang bisa mengejek sak enak udelnya sendiri. Baginya, menghina ciptaan Allah, sama saja menghina Allah itu sendiri.

Untuk membuktikan kelelakiannya, Jon Marmut sering berpakaian layaknya lelaki tulen pada zaman nabi. Pakai jubah lengkap dengan udeng-udeng di kepala, ditambah lagi jenggotnya yang cuma berjumlah tak lebih dari dua puluh ia coba panjangkan.

Dan, iktiar yang demikian ternyata manjur. Ia terlihat gagah dan sedikit lebih ganteng dari sebelumnya. Maklum, sebenarnya Jon Marmut pernah tinggal di Arab, meskipun sekedar sebagai TKI. Waktu tiga tahun di sana, tentu sudah cukup baginya untuk mengamati dan memfasihkan cara berpakaian macam sahabat Nabi itu.

Tapi akhir-akhir ini penduduk kampung dibuat kaget dan terheran-heran. Jon Marmut berubah seratus delapan puluh sembilan derajat. Jubah dan udeng-udeng tak lagi ia kenakan. Belasan jenggotnya ia babat habis sampai mlunthus.

Jubah ia gantikan dengan kaos oblong bercorak kaum rasta, lengkap dengan gambar daun ganja. Celana putih berbahan lembut yang sering ia kenakan untuk melengkapi jubah, ia gantikan dengan celana jean lusuh, bahkan sedikit robek di bagian lutut. Lengkaplah ia seperti ‘rocker kesiangan’ yang sering manggung di lampu-lampu merah di perempatan jalan. Semua teman se-pengajian menjadi bingung dengan perubahan yang drastis itu.

“Apa si Jon ini kesambet arwah penunggu lampu merah, koq bisa-bisanya dia dengan PeDe menggunakan pakaian norak kayak gitu?” Tanya mas Taufik pada jamaah pengajian selepas shalat isya’.

“Ah, ya nggak mungkin tho, lha wong si Jon kita ini wiridnya mantheng, shalat lima waktu juga mesthi pada waktunya, belum lagi ditambah dengan puasa senin kamis yang sering dia lakoni. Mana kuat setan merasuki jiwanya!!??” Jawab Lik Di kelihatan serius. Saking seriusnya sampai ludahnya muncrat kesana kemari. Untungnya teman-teman sudah antisipatif terhadap fenomena alamnya Lik Di yang sudah lazim terjadi ini.

“We…jangan salah. Kata ustadz Muslih, nabi Adam aja yang maqomnya seorang nabi dan rasul masih juga kena goda setan dan iblis. Apalagi cuma Jon Marmut yang maqomnya masih ecek-ecek alias kelas teri.” Timpal mas Taufik lagi.

“Lantas ya apa alasan Jon Marmut koq sampe sedemikian parahnya ?” pakdhe Mungin jadi ikut-ikutan mikir.

“Apa mungkin dia mutung karena kena sindir Ustadz Muslih pas pengajian kemarin ?” kata mas Taufik menduga-duga.

“Walah, ya nggak mungkin. Si Jon ini meskipun mukanya agak sedikit sangar karena jenggot dan gigi tonggosnya itu, tapi dia nggak gampang nesu, nggak temperamen kayak sampeyan yang dikit-dikit marah, dikit-dikit ngambeg. Mosok cuman karena keterangan ustadz yang njelaske soal adanya kaum khuntsa yang ditakdirkan setengah laki-laki dan setengah perempuan, koq si Jon sampe berubah. Nggak mungkin. Lagian, dia kan sudah mendapat sertifikasi lelaki tulen, ya setelah ia pakai surban dan udeng-udengnya itu. Terus mau-maunya dia pensiunkan busana yang telah berjasa membantunya menjadi lelaki sejati itu? Ya nggak mungkin tho…” sanggah Lik Di.

“Ee…lho, sampeyan koq terus manas-manaske kuping tho. Yang sedang kita bahas ini beliau Muhammad Manshuril Mahmud alias Jon Marmut, bukan saya. Lha koq sampeyan malah membanding-bandingkan perangai saya dengan dia. Ya jelas beda. Kalau si Jon mau sabar, alim dan nggak bringasan ya itu urusan dia. Tapi kalau saya, siapa yang berbuat salah ya harus diluruskan, harus kita ingatkan semampu kita. Kalau mampunya kita pakai kekuasaan ya pakai kekuasaan, kalau mampunya kita pakai tangan ya pakai tangan dan kalau mampunya kita pakai omongan ya kita luruskan pakai omongan. Bukankah begitu perintah Kanjeng Nabi Muhammad lewat hadisnya. Malahan menurut Kanjeng Nabi, sabar dan diam, seperti diamnya Si Jon ketika melihat kemungkaran, itu dianggap sebagai selemah-lemahnya iman. Sopo sing mau imannya dianggap lemah ? lak yo nggak ada tho…?” Argumen mas Taufik membela diri karena merasa disentil.

“Ya ini, ini….yang buat sampeyan dianggap temperamen. Sithik-sithik langsung ngomongnya pake nada tinggi. Eh, Mas Taufik, ngomong-ngomong soal hadis Nabi, Kanjeng Nabi juga pernah dawuh: ‘yassiraa walaa tu’assiraa bassyiraa walaa tunaffiraa’ yang maknanya ‘permudahlah jangan kamu persukar, gembirakanlah jangan kamu takut-takuti’. Gitu mas…lha sampeyannya itu kalau mau amar ma’ruf nahi munkar pake jalan asal gebuk, asal hantam sak kuate, ya bertentangan dengan perintah nabi juga. Artinya kalau mau ngandani orang itu ya mbok pake jalan sing sabar, cara yang halus menurut besar atau kecilnya masalah yang dihadapi, tidak lantas asal ngandani…” debat Lik Di, tentu tak ketinggalan disertai dengan hujanan air liur yang semakin deras menandakan ketegangan omongannya.

“Tapi orang-orang kaya Amerika itu kalau ndak digitukan ya makin kelewatan, makin ngidap-idapi. Orang Islam macam kita ini yang jadi korban. Indonesia yang kaya raya dengan pemeluk macam-macam agama aja diobrak-abrik dengan dalih kerjasama dan penanaman investasi demi kemajuan negeri kita yang katanya sedang berkembang. Alasannya bagus tapi itu sekedar tuk nutupi niat jahatnya pada kita. Kita aja yang nggak peka, nggak mudengan kalau kita sedang dikerjain…” timpal Mas taufik membela diri lagi.

Wis…uwis…sampeyan berdua ini lho malah jadi kaya musuhan. Mbok ya sudah, kita kembali ke akar permasalahan, jangan trus ngoyoworo kemana-mana sampe persoalan dan prinsip pribadi dibawa-bawa segala.” Pakdhe Mungin yang sedari tadi cuma mlongo akhirnya jengkel juga melihat kelakuan dua rekan yuniornya.

“Habis mas taufik itu…..” kata Lik Di terhenti dipenggal Pak Dhe Mungin.

“Uwiiiis….wis itu ya wis. Titik ndak ada koma. The end alias tamat alias sodaqallaul ‘adzim. Kalau mo bicara harus dengan tema dan judul yang lain, nggak boleh kembali ke pembicaraan yang berjudul ‘perpecahan antara saudara seiman’ tadi. Ntar Amerika dan kroni-kroninya kalau lihat kamu berdua mesti kipyak, jingkrak-jingkrak senang bukan karuan. Mau dilihat kayak gitu ?” nada Pakdhe Mungin kelihatan agak tinggi, naga-naganya agak marah juga dia.

Tentu saja yang lainnya jadi mak klakep, diam seribu bahasa, cilang-cileng kaya cacing kepanasan, matanya cuma brani lihat ke bawah, Nggak yak-yak’an lagi kaya pas berdebat tadi.

Wis, gini aja, lebih baiknya kita datangi si Jon Marmut yang jadi sumber kebingungan kita ini. Kita tanyai dia, mungkin dia mau terus terang dengan permasalahannya. Mungkin juga kita bisa bantu carikan jalan keluarnya.” Lanjut Pakdhe Mungin.

Omong punya omong, disepakatilah mereka bertiga hendak bertamu ke rumah si Jon Marmut besok malam jum’at kliwon jam setengah sembilan malam, pas mbarengi rembulan kelihatan penuh. Bukan karena tahyul atau wangsit klenik atau juga perhitungan jawa yang kadang sok nggak masuk di akal, tapi ya karena sinarnya bulan itu biar jalan lebih terang, biar mereka nggak perlu repot-repot bawa obor. Cuma karena itu.

Soal malam jum’at, karena pada malam itu biasanya si Jon pasti di rumah, ngamalke wiridnya yang puanjang kaya kolornya celana mbah Karto. Soal kliwon, karena malam jum’at besok, malam jum’at yang paling dekat, pas tiba pasaran kliwon. Jadi insya allah niat mereka bersih dan jauh dari apa yang oleh orang-orang Wahabi dianggap bid’ah.

****

“Weealah, Jon. Kamu koq tambah gagah aja. Ototmu mbrenjol-mbrenjol yang koyo jengkol, itu sampe kelihatan. Wis tho, pokok’e kamu ini wis persis kaya Rambo. Sing beda paling cuma gigimu thok. Kalau Rambo kan giginya racak bagus dan rapi, tapi kalau milik kamu……” begitu gurauan Lik Di pada Jon Marmut di malam jumat seperti yang telah menjadi rencana mereka.

Mendengar itu, si Jon tak berkomentar, hanya sedikit senyum kecil yang kelihatan kecut seolah mencibir dirinya sendiri. Meskipun begitu, ia perlihatkan juga barisan gigi tonggosnya di balik senyuman yang tentu saja jauh dari istilah menggoda. Tapi sama sekali si Jon tak marah, berarti apa yang dikatakan Lik Di soal sabarnya si Jon sudah terbukti.

“Ngomong-ngomong, Jon. Kedatangan kami ke sini ini lak karena kebingungan tho lihat perubahan drastis cara berpakaian kamu. Tadinya kami bangga lihat kamu brani berpakaian kaya orang Arab, maklum jaman sekarang pake pakaian macam gituan dianggap usang, kuno dan ketinggalan zaman. Tapi pas kekaguman kami menjadi-jadi, tiba-tiba kamu merubah cara berpakaianmu. Wis jan, sekarang tu sampeyan kayak nom-noman beneran. Jangan-jangan sampeyan juga sudah anggap surban dan udeng-udeng macam itu ketinggalan zaman ? klo begitu bahaya ni…..” kata Mas Taufik langsung pada pokok permasalahan, mencoba mengalihkan pembicaraan Lik Di karena merasa dirinya kalah bukti soal kesabaran Jon Marmut.

“Bahaya gimana, mas?” Tanya si Jon, mbodoni.

“Ya bahaya, bahkan ini sumber kehancuran umat Islam. Bayangkan surban dan udeng-udeng itu kan sudah kadung jadi trend mark dan identitas keislaman kita. Lha kalau pioneer dan penggerak agama macam si Jon ini saja sudah malu pake surban dan udeng-udeng, apa nggak kiamat masa depannya syiar Islam kita ?” jawab Mas Taufik, sampe-sampe nggak sadar keluar tabiat kerasnya.

“Kali ini analisa sampeyan saya akui sangat-sangat brillian, mas. Kok kadingaren tho?” canda Lik Di menggoda rekannya.

“Kadingaren…buathukmu..!” yang digoda nyatanya jengkel juga.

Wiswis. Ini kalau nggak dihentikan sejak awal bisa ngombro-ngombro. Kita langsung tanya saja pada si Jon. Gimana Jon menurut pendapatmu?” kembali Pakdhe Mungin memposisikan diri sebagai penengah andal.

“Gini yo mas, lik dan pakdhe. sebelumnya saya minta maaf kalau saya sudah bikin njenengan bertiga kebingungan. Tapi niat saya bisa ditanggung bukan karena pancen mau bikin kebingungan. Ndak mungkin tho, saya yang masih hijau ini nekat melakukan hal itu pada njenengan-njenengan yang merupakan senior saya. Bisa-bisa kualat saya kena semburan ludahnya Lik Di.” Si Jon mulai buka suara sambil bercanda.

Lanjutnya, “soal pendapat Mas Taufik tentang perkiraan beliau mengenai saya yang dianggap malu memakai pakaian identitas muslim berupa surban dan udeng-udeng itu, juga nggak bener. Kalau boleh saya mengkritisi apa yang telah menjadi perkataan mas Taufik tadi, menurut saya itulah kelemahan orang Islam. Kita, sebagai orang Islam, sebenarnya sudah terlalu terlarut mendewakan symbol-simbol agama macam surban dan udeng-udeng tadi. Padahal belum tentu symbol macam itu bisa menjamin tingginya tingkat keimanan dan ketaqwaan seseorang. Bisa saja gelandangan yang berpakaian apa adanya, dia lebih alim dan beriman ketimbang saya ketika memakai surban dan udeng-udeng. Yang penting kan batinnya, soal penampilan dhohir itu bisa jadi nomor ke-tiga puluh sekian, karena sejatinya apa yang tampak bisa saja menipu mata dan penglihatan. Ini salah satu alasan saya menanggalkan pakaian yang dianggap mas Taufik sebagai trend marknya umat Islam.”

“Oooo…jadi, sampeyan pengin ikut-ikutan menipu orang laen dengan gaya busana kamu yang bisa dibilang tak karuan ini. Menipu bisa dianggap dosa lho, Jon !” kata Pakdhe Mungin memutus pembicaraan Jon Marmut.

“Ya bukan begitu, pakdhe. Penginnya saya sih sederhana. Sebaliknya, saya nggak ingin orang-orang tertipu dengan mengira saya ini orang pinter, ngalim soal agama, padahal niat awal saya pake surban dan udeng-udeng kan cuma biar dianggap sebagai lelaki sejati. Kalau tak pikir-pikir, ini niatnya saja sudah salah. Padahal lagi, otak saya ini kan kosong mlompong, nggak ada ilmu yang mau mengisinya, tentu saja karena teramat sangat bahlulnya saya untuk belajar.”

“Tapi bukankah Allah akan menjamin rezeki umatnya jika umat itu mau menolong agama Allah. Sampeyan yang sudah mau menolong agama Allah melalui syiar lewat pakaian itu ya pantes menerima imbalan pertolongan Allah. Anggap saja begini, sampeyan sudah menjadi ‘iklan’ busana muslim yang resmi-resmi menutup aurat, ini kan menolong agama Allah. Lantas sampeyan mendapat pengakuan akan kelelakian sampeyan, ini kan balasan Allah juga. Jadinya klop, draw alias lunas.” Begitu Mas Taufik ikut meyakinkan Jon Marmut.

“Apalagi, Jon, sampeyan yang sudah terlanjur terkenal lebih alim dari kita-kita, bahkan sudah diangkat sumpah jabatannya sebagai guru ngaji anak-anak, kemudian tiba-tiba berpakaian di bawah standar ala kadarnya, bisa-bisa anak-anak meniru kelakuan gurunya yaitu sampeyan. Ingat lho, guru itu digugu lan ditiru. Wis gini Jon, pokoknya kami sudah sangat mengkhawatirkan efek buruk dari perubahan kamu. Kalau boleh kami mengingatkan, sadar dan kembalilah ke busana yang diridhai Allah. Jangan kamu teruskan memakai busana setan macam itu !” Dengan suara tegas Lik Di mencoba mengultimatum Si Jon.

Mendengar himbauan yang lebih mirip ancaman ini, si Jon geleng-geleng kepala. Dengan suara yang ditenang-tenangkan, dia mulai berkata serius, “tapi gini juga lho para tamu saya yang terhormat. Saya kan baru bilang, itu adalah alasan saya yang pertama. Belum juga saya kemukakan alasan pokok saya merubah penampilan, njenengan-njenengan yang lebih senior umurnya dari saya koq nggak sabar. Jadi alasan saya sebenarnya begini…….”

Kata-kata Jon Marmut tiba-tiba berhenti mendadak, mulutnya kaya ada rem cakramnya, mak settttt. Yang mendengar karuan saja penasaran. Mereka sudah kadung ambil duduk dengan sikap sempurna untuk mendengar alasan si Jon. Malah-malah mulut Lik Di saja sudah mlongo kaya gua Selarongnya Pangeran Diponegoro. Tapi si Jon dengan kurang ajarnya mengacak-acak perasaan orang yang katanya sudah dianggap sebagai seniornya sendiri, meskipun cuma senior umurnya, sedang pengetahuannya jelas di bawah si Jon. Lak ya jan kurang ajar tenan si Jon Marmut ini.

“Begini….bagaimana Jon? mbok jangan suka bikin dada pakdhemu ini tratapan. Untung jantung pakdhe ini gak penyakitan. Coba bayangkan jika saja pakdhemu ini gak suka olahraga, bisa-bisa pakdhe jantungan lantas mati mendadak. Nanti kamu juga yang disalahkan.” Pakdhe Mungin terlihat sudah tidak sabar.

“Ini juga pakdhe yang paling sepuh umurnya malah ngompor-ngompori lainnya agar tidak sabar.” Balas Jon Marmut sambil membetulkan posisi duduknya yang sudah tidak nyaman lagi.

“Begini pakdhe, Lik Di, dan Mas Taufik. Beberapa hari yang lalu kan kita semua sama-sama mengetahui bahwasanya yang terhormat pak penegak hukum di Jakarta sana mengumumkan, demi stabilitas keamanan nasional dari serangan teroris, mereka akan mengawasi dakwah-dakwah yang dilakukan di musholla dan masjid-masjid. Ini kan pertanda tidak baik. Belum lagi, dari kata-kata, kalimat-kalimat dan petunjuk-petunjuk yang super-super over acting itu, jelas-jelas mengarah pada usaha-usaha killing-character alias pembunuhan karakter. Coba bayangkan, terorisme coba mereka asumsikan dengan agama Islam, dengan pengajian dan dakwah-dakwah, dan yang terpenting bagi saya…ya dengan busana-busana muslim semacam surban dan udeng-udeng yang biasa saya pakai. Parahnya lagi, kemudian dengan asumsi dan anggapan keliru semacam itu, mereka melakukan penangkapan yang asal-asalan. Siapa pakai surban, siapa pakai udeng-udeng, siapa berjenggot, mencurigakan sedikit harus ditangkap. Tapi nyatanya, setelah diperiksa dengan prosedur bertele-tele banyak dari hasil penangkapan itu dibebaskan dengan alasan tidak terlibat dalam jaringan terorisme. Ini kan sudah dholim namanya. Sayangnya, kodholiman itu terlihat legal dan sah di mata petinggi-petinggi negeri ini. Memang sudah kebalik pola pikir kita-kita ini. Nggak dari pejabat, bahkan rakyatnya pun ikut-ikutan seolah jadi laknat. Mereka yang seharusnya membuat perasaan rakyat kecil tenang malah membuat rakyat kelimputan tidak karuan.”

“Lha…dengan alasan membahayakan diri sendiri inilah saya kemudian berusaha merubah penampilan saya. Ini juga saya sudah manut sama hadis kanjeng nabi lho. Menurut beliau, jika kita hendak beribadah sunah namun dalam proses ibadah yang bersifat sunah itu terdapat resiko bahaya, maka tinggalkanlah. Anggap saja begini, saya berpakaian muslim ala sahabat nabi, ini kan cuma sunah, tapi mengandung resiko bahaya. Jika saja saya sedang jalan-jalan bertazdhabur ria untuk mensyukuri nikmat Allah, tapi kemudian saya jadi korban salah tangkapnya oknum polisi yang ngawur, kemudian saya disiksa, dipaksa mengakui perbuatan terorisme yang sebenarnya tidak saya lakukan, apa ini tidak konyol. Mendingan saya menyelamatkan diri dengan cara berpakaian yang oknum polisi sukai. Ya pakaian setan ini. Mereka kan lebih familiar dengan pakaian kaya setan ini, dibanding busana yang benar-benar sah menutup aurat dan diridhai Allah. Penampilan dhahir boleh asal-asalan, penting bathin kita tetap tertuju pada ridha Allah ta’ala….” Kata Jon menjelaskan duduk perkaranya.

Sampai disitu si Jon mengamati ketiga orang yang hendak mendemonya tadi. Tapi…..Pakdhe Mungin sudah keburu ngorok, Lik Di bercucuran air liur, dan Mas Taufik yang bersemangat itu…, dia sudah terlebih dahulu tersenyum dalam mimpi-mimpi tidurnya.

Jon melihat jam di HP-nya. 23.57 WIB, jam dua belas malam kurang 3 menit. Maklum.

Wallahu a’lam.