bagaimanakah isi materi cerpen-cerpen kami?

Selasa, 12 Januari 2010

KETIKA CINTA HARUS MEMILIH

Dingin. Meskipun ia telah mengenakan jaket tebal dan sebuah sarung yang ia lipat dan dikalungkan di lehernya, namun hawa dingin itu masih juga terasa menusuk tulang. Ia gosokkan telapak tangan kanan dan kirinya. Ia berjongkok dan mengambil batu di depannya untuk ia jadikan tempat duduk. Dengan perlahan-lahan, ia letakkan pantatnya ke batu yang tidak begitu besar tersebut setelah ia mengusapnya untuk menghilangkan debu di atasnya. Hampir dua bulan ini, Faisal mengikuti Kuliah Kerja Nyata yang diadakan kampusnya, sebuah perguruan tinggi agama Islam negeri di Kota Salatiga. Faisal mendapat tugas di daerah pegunungan di ujung timur Kabupaten Magelang yaitu di Kecamatan Pakis, dan ini adalah malam terakhir ia tinggal di desa ini.
Faisal masih ingat beberapa jam yang lalu, ketika acara perpisahan tim KKN dengan warga desa. Bekerjasama dengan Remaja Masjid, Faisal dan kawan-kawan mengadakan pengajian akbar. Seluruh anggota kelompok mendapatkan pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Faisal kebagian jatah mengisi acara inti, mauidhoh khasanah. Hal ini bukannya tanpa alasan, karena Faisal adalah satu-satunya mahasiswa yang juga menjadi santri di salah satu pesantren terkenal di Salatiga. Sebenarnya bukan dia yang harus mengisi pengajian tersebut, namun ketika acara akan dimulai, ada berita mendadak yang mengabarkan bahwa kiai yang akan mengisi sakit sehingga tidak bisa menghadiri acara pengajian tersebut, panitia pun kalang kabut, akhirnya dengan sedikit memaksa disepakatilah Faisal sebagai pembicara pada acara tersebut.
Pada awalnya Faisal sedikit grogi dalam memberikan pengajian karena memang Faisal belum pernah mengisi sebuah acara pengajian apalagi yang hadir adalah warga satu desa ditambah rombongan dari bapak ketua jurusan. Beruntungnya Faisal hidup di lingkungan keluarga pesantren. Abahnya adalah seorang kyai di desanya, sehingga pengajian bukanlah sesuatu yang asing bagi Faisal - meski selama ini masih sebatas sebagai pendengar saja. Ditambah lagi Faisal merupakan santri senior di pondoknya, ia sering di ajak nderekke pak kyai berdakwah mengisi pengajian di desa-desa, ia selalu memperhatikan semua pengajian yang disampaikan kyainya dan akhirnya pengajian malam itu dapat dilaluinya dengan tanpa halangan yang berarti.
Malam semakin larut namun Faisal tak juga beranjak dari tempatnya merenung. Ada raut kesedihan, keragu-raguan atau entah raut muka apa yang tergambar pada wajahnya. Berulangkali ia mendesah seolah memikul beban yang amat berat. Semua itu berawal sehabis ia mengisi pengajian tadi. Ketika acara baru saja selesai, Pak Zuhdi seorang guru agama di sekolah dasar desa tersebut menemuinya. Ia mengatakan dengan terus terang kepada Isal bahwa anaknya yang bernama Dewi sang ketua remaja Masjid Nurul Iman menangis di hadapan bapaknya pada sore hari sebelum malam perpisahan itu. Ia berterus terang bahwa ia amat mencintai Faisal.
“Sal, ngapain kamu di situ”, teriak Anas sang ketua kelompok.
“Gak apa-apa Nas, aku hanya lelah saja kok”.
“Cepet pulang, kamu dicari Dewi di posko!
Hati Faisal berdesir mendengar nama Dewi disebut segera ia bangun dan pulang menuju posko. Sementara ia lihat teman-temannya masih sibuk bersenda gurau dengan para pemuda kampung. Faisal berjalan dengan langkah setengah berlari, ia ingin cepat-cepat sampai ke posko yang sebenarnya tidak begitu jauh itu.
“Assalamu’alaikum”. Ucap Faisal begitu sampai di depan pintu posko.
“Nah…..ini dia yang ditunggu-tunggu,” bukan jawaban salam yang diperoleh namun ledekan para penghuni posko yang terdengar serempak.
Dewi yang duduk di ruang tamu hanya senyam-senyum, kepalanya tertunduk ada rona malu di wajahnya. Dada Faisal berdetak dengan keras, degup jantungnya naik turun, ia terkesima pada kecantikan Dewi dengan balutan kerudung putih pada wajahnya, mahasiswi Fakultas Psikologi semester empat di Universitas Negeri di Magelang itu tampak anggun dengan baju gamis warna biru muda yang dikenakannya. Faisal mengatur ritme nafasnya perlahan-lahan ia berusaha menguasai perasaannya.
“ Kamu belum pulang to Wi”. Tanya Faisal dengan agak gugup.
“Sudah mas, tapi kesini lagi setelah bapak pulang tadi, mas Isal sudah mendengar semua dari bapak to?
“ Sudah wi, tapi….”
“ Tapi apa mas, apa mas Isal sudah punya yang lain?”
“ Bukan begitu Wi, aku tidak bisa memutuskan dalam waktu sesingkat ini, tapi aku janji aku pasti akan memberikan jawabannya”.
Keduanya terdiam, mereka sibuk dalam pikirannya masing-masing, Dewi terdiam dengan menyimpan sejuta harapan sedangkan Isal terdiam dengan setumpuk keraguan yang menghadang. Ketika suasana semakin kaku karena komunikasi yang belum juga terbangun, mereka diuntungkan dengan datangnya Farida, teman sekelas Isal yang terkenal pintar membanyol itu. Ia membawa tiga gelas teh hangat dan ikut nimbrung di ruang tamu itu. Akhirnya dalam waktu yang tidak lama, Dewi pulang ke rumahnya karena jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.00 dengan diantar oleh Isal dan Anas.
Keesokan harinya Isal hanya berpamitan dengan pemilik rumah yang ditempati sebagai posko saja, Isal tidak mampir ke rumah Pak Zuhdi karena Faisal tahu bahwa rumah itu tidak ada orangnya. Ayah Dewi pasti ada di sekolahan sedangkan Ibunya juga seorang guru TK sedang Dewi sendiri juga sudah berangkat kuliah pagi-pagi tadi, hal ini diketahuinya dari sms Dewi sehabis subuh tadi. Dengan diantar sampai ujung desa oleh para penduduk, Faisal dan rombongannya meninggalkan Desa Pakis yang menjadi kenangan mereka selama dua bulan tersebut.

®®®

Jarum jam baru menunjukkan pukul 8 pagi. Tampak Faisal sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Yamaha Vega R yang menjadi teman setianya sejak ia kuliah di Salatiga itu sudah ia keluarkan dari kandangnya. Terdengar dari dalam aula suara teman-teman Isal yang masih mengaji atau bersenda gurau. Isal memang tinggal di sebuah pondok pesantren mahasiswa di pinggiran Kota Salatiga. Sejak pulang dari KKN kemarin Faisal belum kembali ke rumahnya di Undaan Kudus, ia langsung menuju pondoknya. Namun ia berencana untuk pulang siang nanti, Faisal ingin secepatnya mengadukan persoalan yang dihadapinya dngan orang tuanya.
Hari ini Isal ada janji dengan teman-temannya untuk menyusun laporan kegiatan KKN kemarin karena para mahasiswa yang mengikuti Kuliah Kerja Nyata harus sudah memberikan laporannya kepada Fakultas satu minggu setelah KKN selesai. Dengan mencangklong tas punggung kesayangannya serta helm cakil yang sudah buram catnya itu tiba-tiba Isal urung untuk menaiki sepeda motornya karena HP Nokia 3310 nya berbunyi. Ada SMS masuk.
“Ass. sedang apa mas, sudah matur sama abah lom?” ternyata SMS dari Dewi.
‘alaikumslm, maaf Wi, aku blm s4 plg rumah, coz masih mo buat laporan KKN”.
“gpp mas, yang penting jawabannya aku tuggu,I M U”.
Sejenak Faisal tertegun membaca kata terakhir SMS dari cewek calon sarjana psikologi tersebut, ingin ia membalas namun belum sempat menulis ada SMS yang masuk lagi yang ternyata dari Anas yang mengabarkan bahwa dirinya telah ditunggu teman-teman di kampus, akhirnya ia urungkan membalas SMS Dewi karena ia harus cepat-cepat sampai di kampus.

®®®
Sehabis salat Magrib, Faisal berencana matur kepada abah tentang persoalan yang ia hadapi. Sebenarnya ia ingin menyampaikan sore tadi ketika baru saja tiba di rumah, namun ia melihat abahnya sedang asyik berbincang-bincang dengan seorang tamu. Tampak sekali kalau abahnya dengan tamu tersebut sangat akrab. Berulang kali tawa keduanya terdengar berderai. Meskipun perasaannya sudah meledak-ledak untuk menyampaikan isi hati kepada orang tuanya, Faisal harus bersabar sampai tamu abahnya itu pulang. Beban hati yang ditanggungnya dari Salatiga tadi pagi dengan terpaksa harus ditahannya lebih lama lagi. Akhirnya Faisal menghabiskan waktu sore dengan tiduran di kamar untuk melepas lelah setelah selama hampir dua jam ia berkendara sepeda motor dari Salatiga. Alih-alih bisa tidur, untuk memejamkan mata saja Faisal sulit karena bayangan Dewi dan orang tuanya terus saja menari-nari di pelupuk matanya.
Dengan kegelisahan yang menyeruak Faisal sudah mendahului abahnya duduk di ruang tengah rumahnya. Ia sudah sangat hafal dengan kegiatan bapaknya, hampir dipastikan sepulang dari masjid, abahnya pasti akan duduk di ruang keluarga asyik melinting tembakau “Dadi” kesayangannya sembari menunggu waktu Isya’ tiba. Namun ternyata Faisal salah mengira sebab semuanya telah berbeda dengan sebelum ia melanjutkan kuliah di Salatiga, abahnya harus menggantikan pak dhe Ridwan mengajar diniyah di serambi masjid sejak pak dhe Ridwan sakit-sakitan, begitu jawab ibunya setelah ia bertanya mengapa abah tidak segera pulang. Maka, jadilah waktu Magrib hari itu seolah-olah menjadi waktu Magrib yang paling panjang dalam hidup Faisal hingga akhirnya terdengar suara azan isya’ berkumandang, maka hati Faisal menjadi sedikit lega.
“ Bagaimana KKNmu, Sal?” Tanya abahnya setelah pulang dari masjid.
“ Alhamdulillah, semua lancar Bah” jawab Isal dengan sedikit bergetar.
“Sal, aku ingin ngomong persoalan serius dengan kamu, aku harap kamu dapat mempertimbangkan baik-baik hal ini”.
“Insyaallah Bah, namun masalah apa Bah?”
“Ini tentang kamu, tentang keinginan almarhum kakekmu, tentang perjuangan yang telah dirintis oleh beliau, dan juga tentang masa depanmu”. Sejenak abahnya Faisal menghisap tembakau yang sudah ada di sela-sela jari kanannya kemudian ia lanjutkan lagi bicaranya.
“Sore tadi Kyai Syukron, teman abahmu nyantri di Poncol dulu kesini, beliau menanyakan tentang kamu, beliau bermaksud menjodohkan Aisya, putrinya yang sudah hafizoh itu dengan kamu”.
Bagaikan disambar petir di siang bolong perkataan abahnya itu mengagetkan Faisal. Dengan sekuat tenaga Isal menyembunyikan kekagetan itu dari wajahnya.
“Ta..tapi bah, Isal kan belum selesai kuliahnya terus Isal kan juga belum punya pekerjaan yah ?”
“Jangan khawatir, kamu dapat menyelesaikan kuliahmu dulu, Kyai Syukron hanya menunggu kepastianmu itu saja...
“ Tapi bah,” potong Faisal. “Isal kan juga belum punya pekerjaan”.
“Soal itu kamu juga tidak perlu khawatir, Kyai Syukron sudah memikirkannya”.
“Isal akan pikir-pikir dahulu bah”.
“Baiklah, tetapi satu hal yang harus kamu ingat bahwa hal ini adalah keinginan kakekmu, juga menurut pendapatku hanya ditanganmulah pesantren kakekmu di desa ini dapat hidup kembali, namun semua ini tergantung keputusanmu sendiri”.
“Baik bah, doakan Isal dapat mengambil keputusan yang terbaik”. Jawab Faisal sambil berlalu meninggalkan abahnya menuju ke kamar.
Hampir semalaman Faisal tidak dapat memejamkan matanya, pikirannya terus berkelana mencari jawaban antara dia menerima Dewi atau mengikuti kehendak ayahnya. HP miliknya ia matikan, karena dia sangat yakin bahwa Dewi pasti akan berusaha menghubunginya sedangkan Faisal belum memiliki jawaban.
Ayam sudah berkokok sebagai tanda fajar akan menjelang, lambat laun suara azan subuh terdengar mengalun. Segera Faisal bangun dari tidurannya, diambilnya air wudu untuk melaksanakan salat subuh. Selesai salat barulah Faisal dapat memejamkan matanya hanya untuk satu jam karena jam 10 ia harus sudah sampai di Salatiga kembali.

®®®

Sepulang dari kampus Faisal langsung pergi ke ndalem. Disamping akan menyampaikan salam abahnya kepada pak kyai, Faisal juga bermaksud meminta nasehat kepada beliau tentang permasalahan yang dihadapinya. Memang sudah menjadi kebiasaan anak-anak santri di pondoknya apabila mempunyai persoalan yang serius selalu lari kepada pak kyai. Mereka sudah menganggap Pak Kyai dan Bu Nyai sebagai orang tuanya sendiri. Para santri tersebut berharap dapat menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapinya, atau paling tidak mendapatkan penenang jiwa dari nasehat-nasehat yang disampaikan oleh beliau.
“Apakah tidak sebaiknya kamu salat istikharoh dulu Sal?”, kata pak kyai setelah Faisal menceritakan semuanya.
“Baik kyai”, jawab Faisal pendek.
“Kalau boleh tahu kyai, isyarat apa nantinya pada hasil usaha kita setelah salat istikharoh kyai?” sambung Faisal.
“Keyakinan hati kamu”, Jawab Pak Kyai singkat.
Ada sedikit perasaan lega di hati Faisal, iasegera kembali ke pondok setelah sebelumnya berpamitan kepada pak kyai. Terbersit sebuah perasaan bahwa keputusan yang akan diambilnya akan sedikit bertentangan dengan hatinya, namun Faisal terus meneguhkan hatinya untuk menyerahkan urusan ini kepada Allah, ia akan khususkan malam ini untuk mermunajat memohon pertolongan dan petunjuk kepadaNya.

®®®

Sepertiga malam yang terakhir adalah waktu yang mustajabah untuk berdoa. Dalam keremangan kamar pondoknya, Faisal masih bertafakur memutar tasbih di tangan kanannya. Bibirnya tek henti-henti menggumamkan kalimat pujian kepada sang Pencipta cinta. Sajadah yang telah basah oleh air mata seolah ikut larut berzikir melantunkan tasbih, tahmid, takbir dan istighfar yang menggema dan memenuhi relung hati Faisal. Sebuah doa ia ucapkan dengan hati yang ikhlas dan mengharapkan kasih sayang sang Tuhan untuk menunjukkan hambaNya yang sedang berada dalam persimpangan jalan. Kedua tangannya ia tengadahkan ke langit untuk menyambut kasih sayang dari Yang Maha Rahman dan Rahim. Dengan mata yang bercucuran airmata dan hati yang merasa hina mulutnya terus menerus mengulang permohonannya kepada Allah.
“allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka biqudrotika wa asaluka min fadlika al ‘azim”
Dalam zikir panjangnya itu, Faisal berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia merasa seolah-olah semua benda yang ada dalam ruangan itu ikut berzikir memuji Allah, suara-suara tasbih, takbir dan tahmid terngiang-ngiang di telinganya, semua yang berujud makhluk seolah tidak mau ketinggalan meramaikan suasana malam itu. Tidak lama sesudah itu mendadak semuanya menjadi hening, hanya detik-detik bunyi jarum jam yang terdengar. Dalam keasyikannya menikmati kesunyian, Faisal melihat dengan samar-samar sebuah bayang-bayang seseorang yang sudah tua mendekatinya. Faisal merasa bahwa ia sudah sangat mengenalnya, namun ia belum pernah melihatnya, namun Faisal yakin bahwa itu adalah kakeknya, ya orang itu adalah ayah dari abahnya yang sudah wafat jauh sebelum Faisal lahir. Orang itu semakin dekat dan ia tersenyum kepada Faisal. Entah kenapa melihat senyuman orang tua yang ia yakini sebagai kakeknya itu hati Faisal bagai diguyur air es di padang sahara, sejuk bagai embun pagi yang belum hilang diterpa panas matahari. Hati Faisal begitu damai.
Faisal mengakhiri qiyamu lailnya ketika terdengar sayup-sayup suara azan subuh memecah kesunyian, segera ia pergi ke masjid untuk salat subuh berjamaah. Sehabis salat barulah Faisal sadar dengan peristiwa aneh yang dilalui pagi buta tadi. Kakeknya datang menemui, seakan itu semua adalah isyarat yang menjadi jawaban dari pertanyaannya selama ini. Hari itu adalah Hari Jumat dimana kegiatan pengajian subuh libur. Faisal memanfaatkan waktu untuk membaca surat yasin kemudian ia lanjutkan membaca tahlil yang ia khususkan kepada almarhum kakeknya. Setelah selesai berdoa diambilnya HP miliknya, dihidupkannya HP yang sudah tiga hari ini selalu dinonaktifkan. Faisal telah telah sampai keyakinannya, bahwa ia akan menerima dengan ikhlas keputusan abahnya untuk dijodokan dengan Aisya, putri dari sahabat abahnya, meski nun jauh di sana Faisal tahu sang calon psikolog akan berurai air matanya membaca SMS darinya.

“Allahummagfirlana dzunubana wa khothoyana kullaha….”

Watuagung, 22 Desember 2009

1 komentar: