bagaimanakah isi materi cerpen-cerpen kami?

Sabtu, 13 Februari 2010

GEORGE

Kalaulah engkau masih menyisakan sedikit hatimu, tentulah aku akan sangat bergembira. Seperti ketika tetesan air di musim gerimis yang menyisakan sedikit kehangatan ruang untuk kita nikmati, kerelaan hatimu adalah seberkas pengharapan bagi aku yang tengah sendiri.

“Sri !” panggilmu kala itu, saat aku berlalu mencoba menghindarimu. Di samping etalase-etalase toko kemudian engkau mengajakku untuk mampir di sebuah restoran dengan tulisan megah pada kaca depan: ASIAN FOOD. Seperti bisaa aku sekedar memesan sepiring nasi putih dengan hiasan telur dadar di atasnya. Sedangkan engkau, cukup dengan segelas juz apokat kesukaanmu, selain tentunya karena alasan kurang familiarnya lidahmu pada masakan bangsaku.

Di luar, lalu lalang limosin mewah membelah jalanan kota Hamburg. Kereta listrik baru saja melintas di depan kami. Sebuah kereta kelas eksekutif yang melaju kencang meninggalkan Hamburg menuju kota Wittenberg. Bagi kereta semewah itu, Wittenberg hanyalah stasiun transit untuk kemudian melintasi sungai Elbe menuju Berlin, sebuah kota besar lain di Jerman.

“I don’t know, George. I’m not decision maker now. Everything is about your perception.” Jawabku ketika entah keberapa kali engkau tanyakan soal rencana pernikahan kita. Mendengar itu engkau seolah merasa tersinggung. Suaramu mendadak tinggi melebihi ketinggian gedung White Golden yang berdiri paling tinggi di jejeran gedung perkantoran kota Hamburg.

“I’m sorry, George. Bukan maksudku untuk menyudutkanmu. Tapi kau jelas sudah tahu prinsipku !” bujukku untuk menenangkan lelaki yang sudah kukenal sejak pertama kali kuinjakkan kaki di Jerman. Lelaki ini pula yang kemudian mencarikan apartemen sederhana buatku ketika aku merasa kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan asrama yang sebelumnya telah disediakan oleh pihak KBRI sebagai penanggung jawab program beasiswa.

“Tetapi tidakkah engkau bisa sedikit bersandiwara di depan orang tuaku. Mengakulah engkau sebagai bukan orang Islam agar orang tuaku mengijinkan kita menikah. Begitu juga aku yang akan mengikuti ajaran agamamu setibanya kita di Indonesia ! cobalah bersandiwara sedikit demi masa depan kita, Sri !” kata George membujukku.

Aku sedikit terkaget dengan permintaannya. Tak pernah sebelumnya George yang merupakan mahasiswa terbaik di kelasku berpikiran sedemikian praktis, cenderung oportunis. Apalagi ini menyangkut persoalan prinsip. Bagiku, pantang menikah dengan lelaki yang, maaf, beragama selain Islam. Ini sudah menjadi prinsip yang ayahku tanamkan sejak aku mengenal laki-laki.

Pernah dulu ketika aku kuliah S-1, seorang teman laki-laki berkunjung ke rumah. Ayah mengira dia adalah pacarku. Dengan bahasa yang runtut sedikit menyelidik, ayah bertanya soal latar belakangnya. Pertanyaan yang paling getol dari ayah tidak lain adalah soal ketaatan agamanya.

George, selain karena kebingungannya, alasan yang mungkin bisa aku pahami dari pandangan oportunisnya kali ini adalah karena begitu sekuler kehidupan beragama di negara asalnya, Amerika. Wajar bila kemudian pola pikirnya, meski secerdas apapun, tetap akan terpengaruh oleh budaya yang sejak kecil ia gauli.

“Sri Penganti Alifa Yuda, kuminta jangan kau gagalkan rencana pernikahan yang telah kita rancang !” pintanya kemudian dengan menyebut nama lengkapku, pertanda keseriusan permintaannya.

Kuhentikan kunyahanku. Kuteguk sedikit air putih untuk menghilangkan kegugupanku. Kuamati raut muka George yang tampak berhiaskan buliran-buliran keringat kecil di dahinya. Tampan dan penuh tanggung jawab.

George memang tak sama dengan lelaki-lelaki Barat yang aku pikirkan selama ini. Meski berasal dari keluarga broken, tapi dia jelas-jelas menentang pergaulan bebas seperti kebanyakan lelaki di lingkungannya. Ia juga sangat menghormati aku sebagai seorang perempuan. Tak pernah sekalipun dia berusaha memperlakukanku seperti pasangan kumpul kebo yang seolah menjadi trend kehidupan di kota ini. Baginya wanita adalah pihak yang perlu untuk mendapat perlindungan dan penghormtan, bukan sebagai pemuas nafsu bejat.

Kurasa aku beruntung mengenal lelaki macam George di tempat yang sangat jauh dari negeri asalku. Selain bisa melindungi, George juga paling asyik dan enak untuk diajak berdiskusi, baik itu mengenai tesis yang kukerjakan ataupun topik lain yang tidak ada hubungannya dengan kuliah S-2 ku. Pernah suatu kali aku tanya pandangannya tentang terorisme yang bagi dunia Barat menjadi semacam alat untuk memperburuk citra dunia Islam. Setelah bicara dan menerangkan agak ngalor-ngidul akhirnya George membuat kesimpulan atas jawabannya sendiri. Menurutnya, Kejayaan Islam tempo dulu hanya akan kembali apabila umat muslim kembali menerapkan akhlak seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Kalaupun toh terorisme benar dilakukan oleh orang Islam, George mengingatkan kejayaan tidak dapat diraih dengan kekerasan semacam terorisme. Menurutnya lagi, bila Barat berkehendak menghancurkan Islam dengan cara-cara halus maka perlawanannya pun mesti dengan cara yang lebih halus dan rapi.
“Sekali lagi jangan dengan kekerasan “ lanjut George menerangkan asumsinya.

Sampai di situ aku tidak habis piker oleh keberatan Mr. Goran, orang tua George, atas rencana pernikahan kami. Semula aku dan George telah sepakat untuk menikah dengan cara Islam untuk kemudian George bersedia menjadi muallaf. Bahkan untuk membuktikan kesungguhannya, George sudah berlatih dan menghafalkan bacaan dan gerakan sholat. Sedangkan untuk membaca al-Qur’an, george lebih suka membaca artinya saja. Ah, tidak masalah bagiku. Toh yang penting bukan bunyi bacaannya, tapi inti dari ajaran al-Qur’an itu sendiri.

Tapi awal bulan yang lalu, ketika kami seluruh mahasiswa penerima beasiswa sedang malaksanakan upacara wisuda, semua impian kami seolah buyar. Sementara di aula tempat wisudawan menunggu giliran penyematan gelar, aku diajak Mr. Goran dan George ke sebuah ruang kecil sebelah aula.

Di sanalah dengan jelas Mr. Goran menentang habis-habisan rencana pernikahan kami, dan juga rencana perubahan keyakinan George.

“It’s so crazy, George ! All of my family is never pray the other God. Just one, he’s Jesus, George. And you, miss Sri Penganti, you are more crazy than George !”
Bumi serasa dibalik, langit seolah sengaja diruntuhkan. Tak pernah sekalipun aku dimaki semacam ini, apalagi ini dari orang yang belum aku kenal sebelumnya. Munafik saja, batinku, jika Mr. Goran mengagung-agungkan keyakinannya. Padahal yang kutahu dari George, ayahnya yang Mr. Goran itu ditinggalkan istrinya karena ketahuan berulangkali berselingkuh. Ku kira Jesus-pun tak akan rela memiliki pengikut yang gemar berselingkuh macam Mr. Goran.

Lama aku menggerutu dalam hati untuk mengurangi ledakan-ledakan emosiku. Untuk kemudian kusadari gerutuku tak akan mampu mengubah pendirian Mr. Goran. Jujur, aku sudah terlanjur sayang pada George, lelaki ter-alim yang pernah kutemui di negeri Hitler ini.

Kalimat istighfar kelantunkan pelan dan dalam untuk kemudian aku maknai sendiri dalam pribadiku yang tengah kecewa. Kusungkurkan mukaku pada sapu tangan yang diberikan George kala melihatku menangis.

Dengan beriringkan lagu Einigkeit und Recht und Freiheit yang bersenandung megah sepantasnya lagu kebangsaan Jerman dilantunkan, aku berlari kembali memasuki aula pertemuan. Untuk beberapa saat kemudian namaku dipanggil oleh sang pemandu wisuda. Aku maju dengan langkah kubuat setenang mungkin dan mencoba menafikkan cacian Mr. Goran.

“Inilah aku, anak desa dari kampung Sikutis, yang mampu menamatkan beasiswa S-2 di negeri Jerman akulah satu dari lima penerima beasiswa S-2 di Hamburg University,“ bisikku pada diri sendiri untuk kembali menanamkan rasa percaya diri.

****

Empat bulan sudah aku kembali ke tanah air tercinta. Empat bulan juga waktu yang kubutuhkan untuk terus mencoba melupakan kenanganku akan George. Alhamdulillah, semuanya dapat terlewati dengan baik. Mungkin karena kesibukanku mengajar di universitas Islam tempatku bekerja.

George hanya tinggal kenangan. Sekarang yang di depanku adalah dosen-dosen muda yang tak kalah ganteng dibandingkan dengan George. Sudah tampan, agamanyapun jelas, Islam is our religion. Burhan, Misbah, Jabir, Fatih dan banyak lagi dosen muda seangkatan di sekitarku.

Tetapi yang paling aku nantikan untuk segera bertemu adalah seorang dosen tamu yang sebentar lagi akan mengisi kekosongan pengajar pada matakuliah Sosiologi Agama. Yang kudengar, orangnya sangat mudah bergaul, cerdas dan berwawasan luas. Ide-ide cemerlangnya selalu orisinil. Pastilah dosen ini bisa menjadi partnerku dalam diskusi.

Seperti biasa, setelah sepanjang pagi mengajar, kurebahkan tubuhku pada kursi yang tersedia di ruang dosen. Iseng-iseng aku raih beberapa lembar kertas yang berserakan di atas mejalu. Aku baca satu persatu. Hanyalah beberapa makalah dari mahasiswa-mahasiswaku. Tapi menarik juga kubaca. Apalagi bila menemukan makalah mahasiswa semester awal. Bahasanya lucu sekaligus menghibur.

Kubaca sekilas satu persatu. Hingga pada bendel terakhir tanpa sengaja kubaca sebuah curriculum vitae sosok dosen baru yang dijanjikan. Hamburg University, begitu tulisan yang menunjukkan asal kuliahnya. Ini berarti satu almamater denganku. Aku semakin tertarik. Siapa gerangan orang ini yang akan menjadi rekan kerjaku. Seingatku, penerima beasiswa lulusan dari Hamburg University tidak banyak. Yang kuingat hanyalah Wibisono, Sudrajat, Marsudi Siregar dan Idrus Maulana. Pastilah salah satu dari empat rekanku ini.

Segera kucari kolom yang menunjukkan nama sang calon dosen. Dan, masyaallah…..George Hellferich.

Sumowono, 13 Pebruari 2010

Selasa, 09 Februari 2010

SEBAIT DOA UNTUK AYU SAWITRI

Andai saja malam ini ada siaran bola, tentu aku sudah khusyuk di depan tv sambil menikmati krupuk gendar buatan istriku yang meskipun sederhana tapi sudah menjadi makanan favoritku. Bukan sekedar karena begitu bersahajanya makanan ini, cuma dari nasi turahan kemarin yang dibumbui bleng, tapi juga karena rasa krupuk ini begitu pas di lidahku. Lebih-lebih yang membuat adalah istriku yang sudah 13 tahun ini selalu berada di dekatku. Dia seolah sudah paham beul dengan selera lidahku.

Ayu Sawitri, begitu nama lengkap istriku yang telah memberikan dua anak dari hasil perkawinan kami. Orangnya sederhana, luwes dan nrimo ing pandum. Sepanjang usia perkawinan kami hampir belum pernah ia meminta sesuatu yang memberatkanku sebagai suaminya. Untungnya, ia pandai membuat pemberianku yang sederhana menjadi sesuatu yang cukup sempurna. Jatah uang dapur yang pas-pasan selalu menjadi makanan yang menggairahkan di meja makan. Pakaian sederhana sebatas yang mampu kubelikan, selalu juga pas dan pantas ia kenakan.

Wajah sederhananya tak pernah pula tersentuh aneka polesan alat kecantikan. Tapi justru karena itu, wajahnya terlihat alami khas wanita jawa, hitam manis dengan senyum kecil dari bibir tipisnya. Bibir itu semakin sempurna dengan tutur kata yang lembut. Padaku ia selalu menggunakan bahasa kromo inggil hasil didikan di pesantren dulu.

Suatu hari, orang tuaku pernah mengatakan, “beruntunglah kamu le, dapat istri begitu solehah.” Mendengar itu aku hanya bisa tersenyum bangga sambil mengagibu kesetiaan sang istri yang tetap saja mendampingiku meski hidupku jauh dari istilah kaya.

***

Tapi, malam ini nyatanya tak ada tontonan bola. Krupuk gendar juga mungkin sudah sebulan yang lalu terakhir aku rasakan. Yang ada hanyalah kegelapan malam dengan ilustrasi musik jangkrik yang mengiringi. Yang ada hanyalah tangisan anak-anakku. Yang ada hanyalah kegundahanku yang tak bisa menghentikan tangisan mereka.

Sebulan…ya sebulan aku sudah tidak lagi menemui cemilan favoritku itu. Persis sebulan bersamaan perginya Ayu Sawitri dari rumah. Istriku telah meninggalkan aku dan anak-anak, tanpa bilang apalagi pamit. Seluruh pakaiannya ia bawa. Mungkin hanya yang sudah pantas dijadikan kain lap yang ia tinggalkan.

Ayu sawitri, istriku yang kubanggakan sebagai istri setia kini sudah tak ada lagi. Ayu sawitri yang dengan bangga kukatakan pada keluargaku sebagai istri solehah kini tak terlihat batang hidungnya. Ia pergi entah kemana.

Sebenarnya sudah aku cari dia ke tempat-tempat bisaa ia menghabiskan waktu luangnya. Dari rumah mbak Indah, teman tukar resep masakannya, sampai tempat bulik Asna, temannya dalam pengajian.

Mungkin di rumah orang tuanya? Tapi lagi-lagi aku hanya bisa kecewa. Di rumah mertuaku itu tak ada sosok Ayu Sawitri. Kedatanganku ke rumah itu malah membuat seisi rumah menjadi kelimpungan. Alih-alih aku juga yang disalahkan.

“Mana mungkin Ayu pergi kalau kau tak buat masalah dengan dia !” begitu bapak mertua melabrakku.

“Ayu itu orangnya nrimo ing pandum, tingkahnya tidak aneh-aneh. Selama ini dia dengan setia bersamamu. Kalau sekarang dia pergi tanpa pamit, pastilah hatinya sudah kau sakiti.” Ibu mertua ikut juga menyalahkanku.

Mendengar tuduhan-tuduhan itu aku hanya bisa diam. Kutundukkan kepala sedalam-dalamnya. Kalau saja tidak malu tentu aku sudah menangis mendengar cacian dan tuduhan yang menurutku tak pernah aku melakukannya. Aku hanya bisa merenung, mencari kemungkinan-kemungkinan kesalahan yang tak sengaja aku lakukan.

Sebelum istriku pergi aku tetap memenuhi kewajibanku seperti bisaanya. Uang belanja tetap rutin aku berikan. ‘Jatah malam’ juga tak pernah telat aku laksanakan. Tak pernah pula terdengar komplain ataupun keluhan dari istriku. Dia, seperti bisaa, dengan sabar melakukan tugas-tugas rumah. Waktunya hampir seluruhnya habis untuk mengurus rumah. Dari mencuci, memasak, setrika, ngurus anak-anak.

Kalaupun ada waktu tersisa, bisaanya ia gunakan untuk mengkaji al-Qur’an. Tidak sekedar membaca, ayat demi ayat ia dalami arti dan terjemahannya. Tekun benar dia melakukan hal yang satu ini. Kadang juga aku goda dia, “apa mau jadi mubalighah terkenal meneruskan cita-citamu dulu?”

Mendengar gurauanku ini, dia cuma tersenyum kecil, tidak marah tidak juga tertawa riang. Mungkin kurang lucu gurauanku tadi. Malah dia mengajakku untuk bersama-sama mengkaji kitab suci itu.

“Abi, kalau engkau mau di sini mengaji bersamaku, tentu aku sangat gembira. Kalau saja ada tafsir ayat yang aku tak paham bisa segera engkau menerangkan.” Begitu bujuknya merayuku.
Bukannya aku tak mau berdekat-dekatan mengaji dengan istriku, tapi mungkin aku takut bila tak mampu menjawab pertanyaannya yang bisaanya memerlukan penalaran. Aku sadar, sudah hampir setengah tahun tak pernah aku sentuh al-Qur’an. Dari itu pula aku yakin ilmu-ilmu dari pesantren dulu sudah hilang dari kepalaku. Ayat Qur’an hanya aku baca manakala aku melaksanakan sholat. Itupun terbatas pada surat-surat pendek.

“Ayolah Abi, kita mengaji bersama-sama !” Dia kembali mengajakku.

Segera aku mengelak dengan alasan lelah seharian bekerja. Hanya dengan alasan itulah istriku mau menerima. Mungkin dia tidak ingin menambah kelelahanku.
Tentunya tidak hanya sekali itu saja dia mengajakku mengaji. Dan tidak hanya sekali itu juga aku menolak ajakannya dengan alasan kelelahan.

***

Sudah empat bulan berlalu sejak kepergian istriku. Tetap saja tak ada kabar berita tentangnya. Dia bagaikan hilang ditelan bumi.

Sejak kepergiannya pula tanggung jawabku menjadi ganda. Satu sisi aku harus tetap bekerja, mencari penghasilan untuk keluargaku yang tersisa, minimal untuk kedua anakku. Di sisi lain aku harus bisa menggantikan posisi istriku sebagai ibu rumah tangga.

Kalau hanya sekedar masak, mencuci pakaian, memandikan mereka sebelum sekolah mungkin aku masih bisa menyewa pembantu. Tetapi, mereka tetaplah anak-anak yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Mustahil dapat digantikan oleh pembantu yang hanya aku pekerjakan setengah hari.

Firdaus, anakku pertama yang sekarang berusia sembilan tahun nampaknya sudah agak melupakan ibunya. Kini dia lebih asik dengan mainan mobil-mobilan dan robotnya yang sengaja aku belikan ketika ia sakit panas tempo hari. Ketika itu, dalam igauannya, ia terus memanggil ibunya. Alhamdulillah dengan kedua mainan itu akhirnya ia bisa terhibur.

Berbeda dengan Firdaus, Dzikria, adiknya yang masih empat tahun, tiap tengah malam terus saja merengek bertanya dimana ibunya.

“Abi….adik kangen ibu!” begitu rengek Dzikria malam ini sambil terus mengelap air matanya.

“ya. Kapan-kapan kita cari ibu bareng-bareng” bujukku.

“enggak mau, adik penginnya sekalang !” rewelnya semakin menjadi.

Segera kurengkuh tubuh mungilnya. Kugendong dan ku ajak keluar mencari angin yang lebih segar. Benar saja, di luar rumah udara terasa semilir. Kupandangi bulan yang baru menampakkan separo badannya. Suasana malam terasa lebih nikmat dengan erikan jangkrik yang bersahut-sahutan. Ilustrasi alam semakin lengkap dengan suara kodok dari sawah di pinggiran desa.

“Iya..adik yang sabar ya ! sekarang ibu lagi kerja biar dapat uang yang banyak. Terus kalau uangnya sudah terkumpul, bisa berlibur bersama. Adik, Abi, Ibu, dan kak Firdaus nanti jalan-jalan bersama.” Aku mencoba menghiburnya. Kulihat sebentar, tangisnya mulai mereda.

“Kalau jalan-jalan, adik maunya kemana ?” pancingku lagi agar kenangan anakku akan ibunya sedikit terlupa.

“Adik maunya ke watel boom aja, abi. Adik mau lenang. Kata bu gulu kalau kita lenang, ntal badan adik bisa cepet tinggi kaya abi. Adik nggak mau badan adik kaya bang mansul yang pendek.” Dengan lidahnya yang masih sedikit kaku, anakku membayangkan keinginannya. Alhamdulillah, dengan sedikit pancinganku tadi akhirnya tangisnya bisa benar-benar reda.

“Kalau begitu, adik harus segera tidur. Siapa tahu besok pagi kita bisa jalan-jalan. Adik tidur dulu ya ??!!” kataku.

“Iya, abi. Tapi abi halus celita tentang Nabi Muhammad dulu, balu nanti adik tidul.” Dia menjawab dengan gayanya yang sangat polos. Andai tidak di depan anakku, dengan melihat kepolosannya, tentulah aku sudah menangis.

Dzikria tetap kugendong. Dengan kutambah sedikit timangan, aku berharap ia segera tidur. Aku mulai bercerita seperti keinginannya. Ku ceritakan kisah Nabi Muhammad sedari kecilnya. Ku ceritakan pula bagaimana derita beliau manakala ibunda beliau meninggal. Kuceritakan juga derita beliau ketika harus beklerja menggembala domba dan ikut berdagang ke negeri Syam. Kuceritakan semua kisah sedih Rasulullah. Pada akhir cerita, kukisahkan sang baginda rasulullah menemukan kebahagiaan yang tiada tara, kebahagiaan dunia dan akhirat. Setelahnya, kututup cerita dengan sedikit kesimpulan tentang “inna ma’al usri yusra”, setelah kesedihan pastilah ada kebahagiaan.

Lama bercerita sambil tetap menggendong, kulihat mata anakku sudah terpejam. Ia terlihat tenang. Pastilah ia sudah tidur dan bermimpi berenang di water boom seperti keinginannya.
Aku segera menuju ke dalam ruang tidur anak-anakku. Dengan perlahan dan pelan, aku letakkan badan anak perempuanku berharap tak terbangun.
Tapi tiba-tiba…..

“Ibu sudah meninggal, abi. Ibu sudah meninggal, abi… Ibu…Ibu…Ibu...” Dzikria mengigau sambil tangannya bergerak-gerak seolah menggapai-gapai sesuatu.

“Astghfirullahal ‘adzim…” batinku. Segera kupeluk tubuh anakku agar ia bisa kembali tenang.

Dengan penuh kasih sayang dan sedikit elusan, akhirnya Zdikria kembali pulas dalam tidurnya.
Sekarang gantian aku harus merebahkan tubuhku. Setibanya di kamar, segera kubanting badanku yang sudah terasa penat. Achh…begitu enaknya.

Kerja berat hari ini terbayang. Pagi sekali aku sudah dibangunkan Pakdhe Parjo yang minta pertolongan karena anaknya kejang-kejang epilepsinya kambuh. Dia minta diantarkan ke Rumah Sakit. Di kantor, meski dengan rasa kantuk melanda karena kurang istirahat, aku tetap berusaha menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku. Di rumah kembali anak-anak sudah menanti kasih-sayangku dengan berbagai permintaan. Dari minta ditemani bermain sampai mengajari mereka belajar.

Setelah seharian bekerja dan dilanjutkan aktifitas di rumah sampai mengurus anak, tidak ada lagi pekerjaan yang mengenakkan kecuali berbaring di tempat tidur seperti saat ini.

Dengan posisi tidur, kubaca artikel-artikel ringan pada surat kabar hari ini, berharap lekas tidur. Tapi meski badan kelelahan tak juga mataku mau terpejam. Pikiranku terus terbayang igauan Zdikria tadi. Benarkah istriku sudah meninggal ? Jika benar, dimanakah ia dikuburkan ? Mengapa juga ia harus meninggalkan kami bertiga sebagai keluarganya ?

Bermacam pertanyaan berkecamuk di dalam benak, meski tak satupun kutemukan jawabannya. Mungkin saja istriku benar-benar sudah meninggal. Bukankah orang bilang, perasaan anak sangat dekat dengan ibunya. Bisa saja Zdikria mengigau karena benar-benar tahu dari kedekatan perasaannya terhadap ibunya.

Lama aku berpikir, terasa badan dan pikiranku limbung. Dan sampai akhirnya…….

***

Belum lagi terbangun, aku dikejutkan oleh suara pintu belakang yang digedor oleh seseorang. Kupicingkan mata pada jam yang tepat berada di samping tempat tidurku. Baru pukul 03.45.
Siapa sepagi ini yang telah tega mengganggu tidurku. Kalau bukan orang yang kurang kerjaan pastilah orang yang benar-benar sedang butuh pertolongan. Atau jangan-jangan itu Pakdhe Parjo yang anaknya kemarin kejang-kejang kena penyakit epilepsi.

Aku melompat dari tempat tidurku. Dengan hanya mengenakan sarung dan kaos seadanya, aku segera menuju pintu belakang dimana terdengar gedoran yang amat keras. Semakin dekat dengan pintu yang kutuju, semakin keras suara terdengar. Pastilah telah terjadi sesuatu pada anak pakdhe Parjo.

Sesampainya di ruang belakang, aku lihat kedua anakku telah lebih dahulu berada di sana. Mereka berdua duduk bersimpuh sambil menangis ketakutan. Mungkin mereka kaget dengan suara gedoran pintu tadi dan membayangkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Wajar saja anakku ketakutan, maklum beberapa bulan terakhir ini mereka seperti mendapat tekanan akan kepergian ibunya. Akibatnya perasaan mereka sangat sensitif. Mendengar suara keras sedikit saja bisa membuat mereka ketakutan. Mereka benar-benar dalam keadaan trauma psikologis.

Kurengkuh keduanya dan kukatakan tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Kuterangkan pula, itu hanyalah pakdhe Parjo mau meminta pertolongan.

Dengan tetap menggandeng keduanya aku menuju pintu, berharap tak terjadi apa-apa pada anak pakdhe Parjo.

Kubuka pintu dan ………
Ma syaallah…Ayu Sawitri kembali.

***

Seminggu berlalu semenjak pulangnya Ayu Sawitri ke rumah. Seluruh waktunya ia habiskan untuk berkumpul bersama anak-anak. Mungkin dia sengaja untuk membayar waktu yang ia telah habiskan ketika pergi selama ini. Kadang-kadang dengan tanpa sepengetahuan anak-anakku, kulihat dari kejauhan, istriku menangis, seperti menyesali perbuatannya.

Sedangkan anak-anak tentu saja merasa gembira. Mereka berdua seolah kompak ingin menumpahkan rasa kangen pada ibunya. Selalu dengan rasa manja, kulihat mereka bertiga bermain bersama. Kadang jika Zdikria minta digendong ibunya, Firdaus tak mau kalah. Ia mencari tubuh ibunya yang masih bisa ia gendongi. Akhirnya Firdaus di belakang dan adiknya di depan. Meskipun keberatan dengan beban tubuh kedua anak-anak, istriku tetap merasa senang.
Sedangkan aku… Aku belum sepenuhnya merasakan kegembiraan atas kembalinya istriku. Belum juga bisa kutemukan semangat hidup seperti sediakala.

Jujur, aku belum bisa memaafkan sepenuhnya alasan istriku meninggalkan rumah.

Kemarin malam di hari ketiga kepulangannya, setelah menidurkan anak-anak, istriku menyusulku ke ruang tidur. Aku kira ia ingin tidur di sebelahku. Bagaimanapun dia belum aku ceraikan. Dia tetaplah Ayu Sawitri yang menjadi hak dan tanggung jawabku. Dia masih sah dan halal bagiku untuk menyentuhnya. Wajar sebagai lelaki alu mengharapkan hal yang satu itu.
Perkiraanku salah. Dia hanya duduk dipinggiran tempat tidur.

“Abi, aku ingin bicara !” katanya dengan suara dan wajah yang serius. Tak pernah sebelumnya aku mendengar suara serius seperti ini dari mulutnya.

Segera aku bangun dan duduk di sebelahnya.

“Ada masalah apa ?” kataku.

“Sebelumnya aku mau minta maaf. Aku juga mau menceritakan kemana dan buat apa aku pergi selama ini.” Begitu kata Ayu mengawali pembicaraan.

“…ehmmm,” aku hanya mendesah, mencoba mengatur rasa dan pikiran agar tetap sabar.

“Abi…, aku pergi sebenarnya bukan untuk berbuat maksiat. Apalagi untuk berselingkuh dengan sengaja meninggalkan abi di rumah sendirian mengurus anak-anak. Terus terang, selama ini aku selalu berpikir tentang apa yang aku baca di dalam al-qur’an. Semua terjemahan yang turut serta aku kaji semakin membuat kepala dan otakku penuh dengan pertanyaan. Dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, aku sangat tertarik mengetahui dan mendalami Islam. Aku ingin lebih dekat dengan Allah…”

“Untuk menjawab pertanyaanku, tentu tak bisa aku dapatkan dari Abi. Abi selalu kelelahan setelah kerja seharian. Setiap aku ingin bertanya, dengan alasan kelelahan itu abi menolak untuk mengaji bersamaku. Untuk itu, aku sengaja pergi ke rumah ustazd Mukhlis untuk menanyakan segala yang berkecamuk di pikiranku. Tetapi semakin beliau banyak menjelaskan, semakin banyak pula pertanyaan yang muncul berikutnya. Jadilah kuputuskan untuk menginap di rumahnya. Di sana aku berkumpul dengan banyak ibu-ibu dari luar kota yang sengaja menimba ilmu tentang agama Allah. Mereka, sama halnya dengan diriku, ingin lebih dekat dengan Allah….” Lanjutnya.

Aku diam saja, sengaja memberikan waktu baginya untuk menyelesaikan cerita.

“ Begitu banyak ilmu yang telah kudapatkan dari beliau. Tetapi seperti ulama katakan: semakin banyak ilmu kita dapatkan, semakin pula kita tahu ada lebih banyak ilmu yang belum kita ketahui. Untuk itu, Abi….” Sampai di situ, Ayu tak segera meneruskan pembicaraannya. Seolah ragu dan takut, ia menghentikan pembicaraannnya.

Kulihat wajah istriku memerah dengan wajah tertunduk dalam. Pastilah ada sesuatu yang teramat penting yang hendak ia katakan.

“…untuk itu, Abi….ijinkan aku untuk memintai cerai darimu dan menikah dengan ustazd Mukhlis.”

Langit seolah menjadi gelap. Petir menyemburkan segala kebisingan suaranya. Kilat sekan ikut menyambar tubuhku. Aku limbung mendengar permintaan yang tentu tak pernah aku duga sebelumnya. Pikiranku kalut tak menentu. Benarkah yang kudengar barusan ? apakah aku sekedar bermimpi ? semua berkecamuk menjadi satu dalam pikiran yang tidak menentu.

Mungkinkah istriku meminta cerai dariku hanya untuk menikah dengan ustazs Mukhlis yang usianya hamper mendekati ujungnya. Mungkinkah istriku meminta cerai dariku hanya untuk menikah dengan ustazs Mukhlis yang telah beristri tiga. Allahu akbar…

Kun fayakun. Yang terjadi maka terjadilah. Atas izin Allah, Tuhan yang mampu membolak-balikkan hati dan perasaan manusia, dua bulan setelahnya, istriku benar-benar menikah dengan ustazs Mukhlis. Tentu saja setelah ia kuceraikan ia dan telah pula melewati masa iddahnya.
Aku tak akan menyalahkan siapapun. Tak akan kusalahkan Al-Qur’an yang telah menjadi alasan istriku mendalami Islam dan berujung pada kedekatannya pada ustazs Mukhlis. Tak akan juga kusalahkan istriku yang dengan semangatnya belajar agama berujung pada tuntutan cerai. Tak akan juga kusalahkan ustazs Mukhlis yang dengan pendekatan dan cara pengajarannya yang berujung pada ketertarikan sitriku pada beliau.

Yang pantas kusalahkan hanyalah diriku sendiri. Diriku yang tak mampu memenuhi nafkah batin pada istriku. Bagaimanpun persoalan jiwa, persoalan rasa dan persoalan kepuasan batin adalah persoalan nafkah batin yang harus kutunaikan pada istriku. Termasuk kehausan istriku akan agama yang tak mampu kupenuhi dan kusembuhkan rasa dahaga itu. Akulah yang salah, yang telah selalu menolak ajakan istriku untuk mengaji bersama.

Dalam kebahagiaan istriku, aku tak mampu menghadiri akad pernikahan mereka berdua. Kuambil kertas untuk menulis ucapan selamat dan doa. Biarlah nanti Mbok Karti yang mengantarkan surat itu.

Kutulis….

Teruntuk mantan istriku yang tengah berbahagia,
Semoga limpahan hidayah, anugrah dan berkah tetap Allah berikan pada kita semua, hambaNya yang dhoif. La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil adzim.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan pada Nabi Muhammad yang telah mengajarkan tatacara perkawinan suci nan luhur pada semua umatnya, termasuk kita.
Ayu Sawitri yang berbahagia,
Tentulah hari ini adalah hari yang amat membahagiakan bagimu dan suami barumu. Untuk itu perkenankan aku mengucapkan selamat berbahagia atas sunah yang engkau laksanakan. Semoga dengan sunah ini, dahagamu akan seluruh ilmu yang tak kau dapatkan dariku, dapatlah terhapuskan dari pengetahuan dan ilmu suami barumu.
Ayu Sawitri yang berbahagia,
Dengan rendah hati ingin aku katakan, sejujurnya rasa cinta dan kasihku tetaplah menyelimuti jiwaku. Keringnya rasa yang kau miliki padaku, tak akan mampu mengeringkan cintaku yang sudah terlanjur kita bina bertahun-tahun. Meskipun, pada akhirnya engkau memilih jalan yang lebih baik menurutmu.
Hanyalah doa yang pantas dan bisa aku berikan, semoga jalan yang kau pilih merupakan jalan yang paling baik pula menurut Allah bagi kita, bagi anak-anak dan juga suami barumu.
Tak pantas jika terlalu panjang surat ini aku tulis.
Sekian dan terima kasih
Dariku
Arman

Selesai menulis, aku tak kuat lagi menahan tubuhku yang sedari tadi terasa berat. Panasnya suhu badan diikuti rasa kedinginan semakin menjadi. Airmata sudah terlalu kering untuk aku tumpahkan.

Dan akhirnya aku jatuh tak sadarkan diri. Tetap dalam kesendirian…..

Sumowono, 6 Desember 2009


PONIJAH

Ada-ada saja kerjaan Ponijah. Pembantu mungil berparas agak lumayan ini selalu membuat sensasi di paguyuban kebanggaannya. Apalagi kalau bukan PBB alias Paguyuban Babu-Babu. Anggotanya tentu saja seluruh pembantu di kompleks perumahan elit ini.

Agar lebih legal formal dan kelihatan bergengsi, tak lupa paguyuban yang sejatinya kelas ecek-ecek ini diberi nama. Namanya PRASASTI, kepanjangannya Paguyuban Pramu Wisma Kompleks Telukan Indah. Yang lebih asyik lagi, PRASASTI dengan bangga memasang slogan: DENGAN PERSATUAN, KITA WUJUDKAN PEMERINTAHAN MAJIKAN YANG MADANI.

Meski kelihatan konyol dan agak norak, tapi toh slogan ini sudah membuahkan hasil. Buktinya, sekarang para majikan lebih suka menganggap mereka sebagai pembantu daripada pelayan.
‘Eh…apa bedanya sebutan pembantu dan pelayan ?’ Jangan sekali-kali berikan pertanyaan semacam ini kepada Ponijah..

Suatu hari pernah Bu Firda, nyonya rumahnya Ponijah iseng-iseng menanyakan hal ini kepada Ponijah. Hasilnya, Ponijah dengan mulut tipisnya menerangkan kepada beliau dengan detail dan sejelas-jelasnya sampai tak ada lagi yang dapat dipertanyakan.

“Jelas beda, Nyah ! Kalau pelayan ya kerjaannya melayani semata, malah kadang tanpa imbalan. Semua yang menjadi keinginan majikan, pelayan harus 24 jam alias all time siap melayani. Tidak siang tidak malam, kami harus siap. Bukankah sekarang ini banyak priyayi-priyayi putri yang secara tidak langsung dijadikan ‘pelayan’ oleh para suaminya. Maaf lho Nyah. Maksud saya pelayan dalam tanda petik. Kelihatannya saja mereka mulia, bedaknya bermerk, naiknya mobil kinclong yang dibelikan suami, makan pasti terjamin kesehatannya. Tapi nyatanya, bedak yang mereka gunakan hanya untuk menutupi wajah kelelahan mereka sendiri akibat diharuskan melayani suami tak kenal waktu. Suami maunya siang ya harus siap siang. Maunya malam ya harus stand by malam itu juga. Makanan bervitamin dan berkalori tinggi yang seharusnya buat mereka lebih sehat, tetapi hasilnya terbalik. Badan kelihatan sehat, tapi batinnya tertekan. Inilah de-fi-ni-si pelayan, nyonya !!!” Dengan gaya kemayu yang tidak dibuat-buat, pembantu kece ini berceramah dengan sedikit nada menggurui.

Wajar si Parmin, tukang kebun rumah sebelah begitu tergila-gila pada Ponijah. Saking ngefans-nya Parmin pada Ponijah, sampai dia nekat mengirim surat pada idolanya itu. Karena bingung, oleh Ponijah surat itu lantas diberikan kepada Bu Firda.


Dear Ponijah,
Andai saja engkau sebatang mawar yang tengah merekah kembangnya, tentulah aku ingin menjadi tangkai bagi bunga itu. Tak kan ada sepucuk duri yang kuijinkan menempel pada batangku. Biarkan keindahan saja yang menyelimuti kita. Dan….apabila kau adalah selembar kertas, maka ijinkan aku menjadi penanya. Akan aku tulis nuansa cinta yang romantis pada lembaran-lembaranmu. Tak kubiarkan coretan mengganggu keindahanmu.
Wahai Ponijah yang selalu aku kagumi. Lewat surat ini, ijinkanlah aku meminta separuh hatimu untuk aku gabungkan dengan separuh hatiku Biarkan gabungan hati kita menjalani kehidupan dengan sepenuh cinta. Ijinkanlah aku mencintaimu.
Tetapi, jika engkau tak berkenan maka biarkanlah aku tetap mengagumimu seperti biasa. Seperti hari ini.
Demikian surat ini aku tulis dengan sepenuh harapan akan kesediaanmu.

Salam hangat dariku
Parmin


Begitu selesai membaca, Bu Firda segera menuju kamar tidur. Di tempat itu beliau tertawa lepas. Tentu dengan terlebih dahulu ia nyalakan TV dengan volume maksimal agar tawanya tidak terdengar oleh Ponijah. Sekedar untuk menjaga perasaan pembantunya.
Menurut kabar, berapa jam kemudian Parmin dilabrak oleh Sukarti, pacar pertama Parmin. Menurut Ponijah, surat yang Parmin kirimkan kepadanya sama persis isinya dengan surat yang Parmin berikan pada Sukarti kala pertama dia meminang cinta Sukarti. Ponijah jadi tahu kelakuan playboy kelas teri itu. Untung Ponijah tidak termakan bujuk rayu murahan dari surat yang telah dikirimkan Parmin.

“Kalau pembantu lain lagi, Nyah ! Tidak seperti itu. Namanya saja pembantu, ya kerjaannya cuma membantu. Apa yang oleh majikan sudah dapat dikerjakan sendiri, pembantu seharusnya tidak ikut campur. Lha, kalau majikan tidak bisa melakukan, barulah kami siap membantu mengerjakannya. Jadi pekerjaan kami ini sesungguhnya mulia, baik di hadapan sesama manusia, apalagi di hadapan Gusti Allah.” Ponijah kembali berceramah seolah memberi kuliah pada majikannya.

“Berarti kalian-kalian ini hebat, Jah ?” Tanya Bu Firda pada pelayan…eh pembantunya.

“Ya jelas dong, Nyah ! saya dengar di kantor-kantor yang bonafid selalu memiliki orang yang kerjaannya membantu memberikan solusi bilamana pihak perusahaan menemukan masalah yang tidak dapat ditangani sendiri. Namanya…kon…kon…konsu…” Ponijah mengingat-ingat sesuatu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Konsultan maksudmu ?” saut Bu Firda.

“Nah… itulah namanya. Lha posisi kami-kami ini seperti itu seharusnya. Baru turun tangan apabila majikan memerlukan karena tidak mampu mengerjakan sesuatu.” Jelas Ponijah dengan pede-nya.

Meskipun agak menggerutu, tetap saja Bu Firda harus mengakui kehebatan argumen Ponijah. Andai saja dulu ia mampu melanjutkan sekolahnya setamat SMP, tentulah Ponijah tidak akan menjadi pembantu seperti sekarang ini. Bisa saja dia menjadi orator, pemikir atau bahkan anggota DPR sekalipun karena kepandaiannya dalam berargumen dan berorasi. Wajar saja jika di komplek ini, Ponijah yang ditunjuk oleh para pembantu lainnya untuk memimpin organisasi PRASASTI. Meskipun tergolong pembantu baru dan paling muda usianya, pemikiran dan gagasan Ponijah ternyata mampu memperbaiki eksistensi organisasi ini.

Belum lagi dengan kesukaan Ponijah untuk membaca. Jangankan buku sederhana, buku-buku filsafat juga ia telaah semua isinya. Tak jarang Bu Firda secara tak sengaja menemukan Ponijah sedang membaca buku-buku koleksinya yang sebenarnya adalah referensi Bu Firda ketika memberi kuliah pada mahasiswanya. Anehnya, meskipun sekedar pembantu berpendidikan SMP, Ponijah cepat menangkap isi buku yang ia baca. Mungkin kepandaian yang ia bawa sejak lahir.

Sampai di situ, rasa bangga menyelimuti benak Bu Firda. Untung saja dia mendapat pembantu yang agak punya nalar. Tidak hanya pembantu yang kerjaannya hanya ikut-ikutan dan sendiko dawuh tanpa punya prinsip. Padahal di zaman sekarang ini yang katanya zamannya aliran pragmatisme, banyak orang, baik dari kalangan rakyat jelata sampi pejabat tinggi sudah terinfeksi penyakit “asal menguntungkan pribadi sendiri”, ya penyakit akibat virus pragmatis tadi. Dari guru misalnya, ada dari mereka yang lebih memilih mengajar seadanya tanpa mau berlelah-lelah. Penting sudah kerja. Guru macam ini mana mau membuat terobosan dalam pengajarannya, mau mengajar dengan tertib saja sudah untung.
Yang kelihatan lagi para politisi kutu loncat. Kalau partai satu sudah tidak menguntungkan dirinya, lebih baik mencari partai lain yang lebih memberikan harapan. Sukur-sukur dengan tanpa modal dia bisa menduduki jabatan praktis dan strategis dalam kepartaian. Ujung-ujungnya segala cara dilakukan.

“ach…ngapain juga mikir dunia yang antah berantah. Mending mikirin diri sendiri, jangan sampai dijadikan pelayan oleh suami.” Gumam bu Firda. Rupa-rupanya argumen Ponijah sudah mempengaruhi pemikirannya.
Hebat bukan si Ponijah yang satu ini, sampai-sampai majikan yang pendidikannya jauh lebih tinggi mampu ia pengaruhi.

***

Seperti biasa, pagi-pagi sehabis shalat Subuh Bu Firda bersama anak-anak sudah kerja bakti membersihkan rumah. Sulkhan, anaknya yang pertama yang kini menjadi guru PNS di sebuah isntitusi pendidikan, ditugasi menyirami tanaman buah. Hesti, adik Sulkhan yang masih kuliah di fakultas sastra kena giliran menyapu sekeliling taman, dan Bu Firda sendiri mengontrol tanaman-tanaman hias yang ada di dalam pot kecil di samping rumah. Pak Heru, sang big boss, sudah serius menatap komputer untuk menyelesaikan dan mempersiapkan tugas-tugas kantor.
Dimana Ponijah, pembantu kece kita ini ? Tentu sebagai seorang pembantu, ia ditugasi di bagian belakang. Dari mempersiapkan sarapan si empunya rumah, mencuci piring, mencuci pakaian sampai bersih-bersih seluruh ruangan di dalam rumah, tentu saja kamar-kamar tidur menjadi pengecualian. Kata mas Sulkhan demi alasan privasi.

Ponijah, yang memang berbadan mungil dan lincah ini, sejak pagi tadi sudah sibuk di belakang. Selesai menyiapkan sarapan, dia mulai menghidupkan mesin cusi dan kemudian memasukkkan helai demi helai pakaian milik semua majikan.

Seember air hasil campuran dengan salah satu produk pengkilap lantai juga sudah ia siapkan. Tinggal menunggu seluruh tuan rumah pergi beraktifitas. Kalau rumah kosong tentu tak ada lagi yang akan mengganggunya mengepel. Kemarin saja, belum lagi kering lantai sehabis dipel Ponijah, Mbak Hesti dengan seenaknya berjalan menginjak-injak lantai itu. Dengan tanpa dosa, Mbak Hesti kelupaan mencopot sepatunya. Jadilah Ponijah harus mengepel ulang seluruh jejak sepatu Mbak Hesti.

Dari ruang belakang dimana Ponijah menunggu cuciannya, dengan sedikit bersandar pada mesin cuci, Ponijah mendengar deruman mobil Pak Heru. Ini tandanya pak Heru dan Bu Firda sudah berangkat ke kantor. Sebentar kemudian sepeda motor Mbak Hesti juga terdengar erangannya meninggalkan rumah. Kini tinggal menunggu suara mobil Mas Sulkhan.
Tapi sudah setengah jam berlalu, suara yang ditunggu tidak juga terdengar. Atau jangan-jangan Mas Sulkhan berangkat kerja dengan tidak ber-mobil. Bukankah majikannya yang satu ini memang gemar olah raga ?

Untuk meyakinkan dugaannya, Ponijah sengaja pergi ke ruang depan. Setelah mengamati seluruh sudut ruangan dan ternyata tidak nampak satupun majikannya, barulah ia kembali ke belakang untuk mengambil ember berisi air tadi.
Sekembalinya, di tangan kanan ember sudah pada genggaman, di tangan kiri sapu, dan tak lupa kain lap ia selempangkan di pundak.

Sambil menyanyikan lagu BIARKAN AKU JATUH CINTA-nya ST-12, Ponijah mulai menyapu ruang tamu. Tapi belum lagi ujung sapu menyibak kotoran di lantai, mendadak suara seorang laki-laki mengagetkannya.

“ Pon….!”

Ponijah mengarahkan muka mencari-cari sumber suara. Di pintu antara ruang tengah dan ruang tamu ia temukan sosok mas Sulkhan berdiri tegap dengan pakaian olahraga. Diam-diam dari hatinya, Ponijah mengagumi anak pertama majikannya itu. Sungguh atletis, tampan dan cool. “Andai Mas Sulkhan menjadi suamiku….” Batinnya dengan tatapan mata tak berkedip.

“ Pon….!” Suara Mas Sulkhan membuyarkan lamunan indah Ponijah.

“e..e…eee…iya mas, ada apa ? Mas Sulkhan koq belum berangkat kerja ?” jawab Ponijah agak tergagap dan kemudian berbalik Tanya.

“Aku berangkat siang. Ada rapat PGRI nanti. Tolong buatkan aku jus jeruk ya…aku tunggu di beranda samping rumah !” pinta mas Sulkhan.

“Inggih, Mas. Nanti saya antar ke sana.” Jawab Ponijah segera bergegas ke dapur.
Hanya dalam hitungan menit, jus pesanan Mas Sulkhan sudah ia antar ke tempat seperti yang ditunjuk majikannya tadi. Mas Sulkhan sudah terlebih dahulu di sana. Duduk sambil membaca koran hari ini.

Selesai mengantar pesanan minuman tadi, Ponijah berniat kembali meneruskan kegiatannya menyapu. Tapi oleh mas Sulkhan dicegah.

“Duduk sini dulu, Pon. Tidak usah tergesa-gesa. Kalau kamu tidak keberatan, saya mau nanya-nanya ke kamu dulu.” Cegah Mas Sulkhan.

“Ada apa tho, mas ? paling lak yo nggak penting tho ?” kata Ponijah sambil sambil duduk di lantai, persis di depan mas Sulkhan.

“Penting ya nggak penting, tapi nggak penting ya penting. Dibilang cuma iseng juga boleh…” jawab Mas Sulkhan.

“Gimana tho mas Sulkhan ini ?”

“Begini lho, Pon. Apa kamu ini belum punya niatan untuk menikah. Apa ndak kasihan pacar kamu menunggu di desa sana. Keburu jadi perawan tua lho kamu ini !” Tanya mas Sulkhan pada Ponijah.

“Wallllaaaah…mas Sulkhan ini tanyanya koq gitu lho. Mas ini kan tahu umur saya baru saja menginjak 19 tahun. Koq sudah dibilang takut jadi perawan tua.” Jawab Ponijah sambil berkelakar.

“Lho…, menurut orang desa itu, kalau ada perawan yang tidak lekas kawin katanya keburu jadi perawan ‘kasep’ atau perawan tua. Lak gitu tho ?”

“he he he… itu dulu mas. Dan itu juga menurut sebagian orang desa yang masih kolot.” Tegas Ponijah.

“Apa ya terus kamu tega membiarkan pacarmu menunggu. Keburu jadi bujang lapuk dia …” timpal mas Sulkhan.

“Istilahnya mas Sulkhan ini aneh-aneh. Ada perawan ‘kasep’, ada perawan tua, sekarang ada lagi bujang lapuk…soal pacar saya, begini mas…tapi diminum dulu to jus jeruknya…” jawab Ponijah sambil membenarkan posisi duduknya.

“Pacar saya itu lak ya memang sudah tua. Jarak umurnya dengan saya saja sebelas tahun. Dulu sebelum saya berangkat ke sini memang dia sudah ngajak saya kawin. Tapi saya belum siap. Saya masih harus banyak mencari ilmu. Meski untuk kuliah, saya jelas tidak mampu. Tapi..untuk mencari ilmu kan tidak selamanya harus di bangku kuliah tho. Dengan saya menjadi pembantu di rumah ini, ternyata saya bisa mendapatkan banyak ilmu yang mungkin malah tidak ada pelajarannya di bangku kuliah. Dari ilmu membuat lumpia yang renyah dan legit, membuat sayur lodeh ala ‘Bu Firda’ yang super uuenak, sampai tatacara mengepel yang baik, benar dan dengan hasil yang maksimal. Semuanya saya dapatkan di sini, di rumah ini. Dan bukan di bangku kuliah. Gitu, Mas !”

“Terus pacarmu sekarang masih mau menunggu ?” Tanya Mas Sulkhan.

“Menurut kabar-kabar, sekarang dia sudah menikah dengan gadis yang baru lulus SMP. Kabarnya lagi, dia tidak pengin punya istri yang terlalu pinter dan punya pengalaman luas. Pengin dia, istrinya hanya memasak dan ngurusi rumah. Tadinya saya sedih juga ditinggal dia kawin duluan. Apalagi yang bisa merebut hati pacar saya itu cuma anak ingusan, baru lulus SMP. Tapi setelah tahu sosok istri di mata dia, saya malah sekarang jadi bersukur tidak jadi istrinya. Masak istri koq cuma disuruh masak dan di rumah. Kalau saya nggak betah, Mas. Lagian dari buku Mbak Hesti yang saya baca kemarin, pikiran kaya mantan pacar saya itu lak ya persis seperti ide gila-nya Adolf Hitler. Tokoh komunis itu bilang, kalau wanita itu cuma pantas untuk 4-K; kirche, kuche, kinder dan kleider, atau dalam bahasa kita, wanita cuma cocok untuk; di tempat ibadah, di dapur, ngurus anak dan ngurusi pakaian-pakaian semata. Ini penjajahan namanya. Padahal penjajahan kepada wanita semacam ini sudah pernah dihapus oleh Nabi Muhammad. Saya nggak pengin punya suami yang berpikiran seperti Hitler, Mas !” Tanpa sadar, Ponijah mulai kena penyakit lamanya, memberi kuliah pada majikan yang sebenarnya lebih pintar.

“Ya wis.., sana kamu kerja dulu. Kapan-kapan kalau punya waktu, kita ngobrol lagi. Aku juga sudah mau siap-siap pergi rapat !” perintah mas Sulkhan dengan sedikit mencari-cari alas an utuk menghentikan ‘kuliah’ Ponijah. Rupanya dia tahu tanda-tanda kambuhnya penyakit Ponijah.

***

Malam ini rasanya udara sedang enak-enaknya. Angin berhembus semilir. Suhunya juga pas-pasan. Di luar, rembulan sudah menampakkan seluruh bagiannya. Awan tak lagi terlihat dan digantikan oleh kemerlip bintang. Memang tak akan indah langit jika tak ada bintang menghiasinya.

Di ruang tengah, seluruh anggota keluarga sudah berkumpul. Acara biasa untuk mengisi malam mingguan. Pak Heru dan Hesti serius menonton liga Inggris. Sedang Bu Firda yang sebenarnya maniak sinetron, terpaksa mengalah. Beliau mengisi waktunya dengan menyelesaikan membaca tabloid wanita mingguan yang esok hari akan segera berganti dengan edisi baru.

“Kakakmu kemana, Hes ?” Tanya Pak Heu pada Hesti.

“Hesti dari tadi juga nggak lihat Mas Sulkhan. Malam mingguan gini paling dia kumpul-kumpul sama anak-anak di ujung gang.” Jawab Hesti sekenanya. Matanya lebih asyik melihat gocekan bola dari Van Persie daripada harus melihat bapaknya.

“Biarkan saja, Pak. Dia itu sudah dewasa. Biarkan dia cari cewek. Sokur-sokur yang serius. Ibu kan sudah pengin segera punya cucu…” saut Bu Firda santai.

“Mau dapat jodoh dari mana? Lha wong Sulkhan itu gemeteran kalau bicara sama cewek. Cuma sama kamu dan Hesti saja, dia nggak keder.” Pak Heru menanggapi keinginan Bu Firda dengan ketus.

“Ya siapa tahu. Pas lagi jalan-jalan, tiba-tiba ketemu cewek. Terus nyangkut di hati. Jodoh itu kan Gusti Allah yang menentukan. Bukan masalah pede atau gemetar. Dulu saja kamu kalau mau ngapeli aku, pemuda satu RT kamu bawa semua. Katamu biar aman dari gangguan anak-anak kampung, tapi nyatanya itu karena kamu ketakutan dekat sama perempuan. Makanya anakmu sekarang ikut-ikutan kayak kamu, Pak.” Kata Bu Firda membeberkan rahasia cintanya ketika muda.

“Cieee…yang mau romantis-romantisan, mengingat masa lalu. Hesti jadi nggak enak di sini. Pergi saja ahhh. Nonton bolanya di kamar aja.” Goda Hesti pada ibu dan bapaknya.

“Ini juga, anak muda gampang percaya pada omongan yang tidak jelas sumbernya. Yang benar itu, bapak bawa teman biar tidak digoda setan. Gini-gini papa pernah ngaji. Nabi Muhammad mengajarkan: apabila ada wanita dan laki-laki cuma berduaan, maka yang ketiga adalah setan. Siapa yang mau digoda setan ?” Pak Heru membela diri.

Lagi asyik mereka bertiga bergurau, Sulkhan masuk ke ruangan dan langsung mengambil posisi duduk dekat ibunya.

“Bapak dan Ibu, ada yang mau Sulkhan bicarakan !” kata Sulkhan pendek dengan nada serius.
Kontan seluruhnya ikut-ikutan terbawa serius. Pak Heru dan Bu Firda langsung menatap wajah Sulkhan dalam-dalam. Hesti juga ikut mlompong, kebingungan.

Setelah menguasai diri, Bu Firda mulai bicara, “ada apa ? nampaknya serius banget ?”

“Ini datang-datang langsung bikin suasana mencekam. Tidak tahu apa, bolanya lagi rame, MU lawan Arsenal, Mas… rugi kalau terlewatkan !” kata Hesti kemudian.

“Maaf sebelumnya. Tapi ini benar-benar masalah serius. Setidaknya bagi Sulkhan sendiri.” Kata Sulkhan masih dengan gaya diserius-seriuskan.

“Yo wis…cepet ngomong saja. Jangan bikin bapak deg-degan !” Pak Heru angkat bicara.

“E..nganu Pak…e…Sulkhan pengin nikah…..” Sulkhan menjawab dengan gemetar.
Sontak suasana tambah tegang. Setelah tadi Bu Firda menginginkan anaknya dapat jodoh, sekarang anaknya sendiri pula yang minta nikah. Ah..pucuk dicinta ulampun tiba.

“Itu, ibu dengar sendiri. Kelihatannya saja Sulkhan pendiam, seperti takut sama cewek. Tapi nyatanya, diam-diam dia sedang bergerilya mencari jodoh. Kesatria dan jantan itu namanya. Persis seperti aku, Bu.” Kata Pak Heru membanggakan diri.

“halah bapak ini. Kalau ada yang baik satu saja pasti diakui milik bapak. Kalau yang jelek mesti dilimpahkan ibu.” Gerutu Bu Firda.

“Yang benar kamu, Khan ? kamu benar-benar sudah siap nikah ?” Tanya Bu Firda pada Sulkhan. Nampaknya Bu Firda sangat gembira dengan keinginan anaknya yang sebenarnya juga menjadi keinginannya.

“Betul, Bu.” Jawab Sulkhan singkat.

“Terus, wanita mana yang sudah mampu menawan hatimu? anaknya siapa dan kerjanya apa?” Tanya Bu Firda meyakinkan.

Sulkhan tidak langsung menjawab. Dia seolah berpikir mencari jawaban yang tepat agar bapak dan ibunya menjadi yakin. Setelah agak lama befikir:

“Dia wanita yang sederhana tetapi cerdas. Berwawasan sangat visioner dan berpandangan luas. Dia sangat mementingkan arti masa depan. Dia wanita yang tidak sekedar mau menerima nasib apa adanya. Dia seorang wanita pejuang, bagi dirinya dan juga mungkin bagi keluarganya. Dia pula yang mau berkata juga biasa mengerjakan. Dia tipe wanita yang memang Sulkhan idam-idamkan.” Jelas Sulkan menerangkan.

“Bagus kalau gitu. Ibu juga cocok tipe wanita seperti itu. Tapi, namanya siapa, darimana dan kerjanya apa ?” Desak Bu Firda tidak sabar.

“e..e….e……..namanya…..namanya….namanya Ponijah !”

Serasa petir menggelegar di siang bolong. Semuanya menjadi diam seribu bahasa. Ludah Bu Firda tersekat di kerongkongan. Tubuhnya mendadak lemas tidak berdaya seolah seluruh tubuhnya terhempas tanpa tulang.

Pak Heru hanya mampu memelototkan mata di balik kacamata tebalnya tanda tak percaya. Hesti langsung menangis sesenggukan. Semalaman mereka diam tanpa ada kata. Diam dengan pikirannya masing-masing.


***

Seminggu setelahnya, akad nikah dilaksanakan. Sengaja keluarga Pak Heru tidak menyelenggarakan resepsi besar-besaran. Mungkin biar ngirit biaya. Atau yang paling mungkin karena malu punya mantu pembantu. Beliau hanya mengundang warga di kompleks B Perumahan Telukan Indah yang jumlahnya tak lebih dari empatpuluh kepala keluarga. Tak ada handai tolan maupun rekan kerja dari Pak Heru dan Bu Firda. Rekan Sulkhan sesama guru juga tidak terlihat di sana.

Yang paling banyak justru malah para pembantu. Tumpah ruah dan riuh rendah canda tawa mereka memenuhi suasana. Sukarti dengan kebaya merah yang sengaja ia pesan untuk acara pernikahan Ponijah. Mungkin baginya, Ponijah tak akan menjadi saingan dalam memperebutkan cinta Parmin. Sedangkan Parmin, dengan ekspresi yang dibuat-buat tetap berusaha menampakkan kegembiraan. Padahal mungkin saja hatinya tengah pecah. Asanya untuk mendapatkan sang idola musnah sudah.

Para pembantu benar-benar merayakan hari bahagia Ponijah. Hari yang amat bersejarah bagi mereka. Hari dimana mereka, melalui Ponijah, telah mampu membuktikan bahwa tidak ada perbedaan hak antara majikan dan pembantu dalam hal perkawinan. Hari dimana sejarah membuktikan tidak ada jurang pemisah antara majikan dan pembantu manakala cinta telah bicara. Hari dimana seorang pembantu adalah juga individu yang boleh dan bebas memiliki keinginan. Hari dimana sebuah kemenangan telah diraih dari sebuah perjuangan bernama kebersamaan.

Setelah akad selesai, terlihat dua insan yang kini telah disatukan oleh perasaan bahagia. Di ranjang pengantin mereka terlihat sangat sempurna. Sulkhan yang memang lelaki gagah dan ganteng semakin perkasa dalam balutan jas pernikahan. Ponijah semakin cantik dan mempesona dengan pakaian pengantin ala jawa. Tiada satu orangpun yang mampu menduga Ponijah semula berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Bibir tipisnya terus tersenyum. Hidung mancungnya mengembang seolah bangga akan hasil perjuangan hidupnya. Matanya yang bersih terlihat berbinar terang menyiratkan kebahagiaan tiada tara. Dalam suasana ceria, keduanya terlarut hanyut dalam romantisme tanpa membedakan perbedaan status yang sering membelenggu.

Di sudut kamar lain, Bu Firda terus meneteskan air mata. Entah bahagia atau nestapa.

Sumowono, 23 Desember 2009

Selasa, 12 Januari 2010

KETIKA CINTA HARUS MEMILIH

Dingin. Meskipun ia telah mengenakan jaket tebal dan sebuah sarung yang ia lipat dan dikalungkan di lehernya, namun hawa dingin itu masih juga terasa menusuk tulang. Ia gosokkan telapak tangan kanan dan kirinya. Ia berjongkok dan mengambil batu di depannya untuk ia jadikan tempat duduk. Dengan perlahan-lahan, ia letakkan pantatnya ke batu yang tidak begitu besar tersebut setelah ia mengusapnya untuk menghilangkan debu di atasnya. Hampir dua bulan ini, Faisal mengikuti Kuliah Kerja Nyata yang diadakan kampusnya, sebuah perguruan tinggi agama Islam negeri di Kota Salatiga. Faisal mendapat tugas di daerah pegunungan di ujung timur Kabupaten Magelang yaitu di Kecamatan Pakis, dan ini adalah malam terakhir ia tinggal di desa ini.
Faisal masih ingat beberapa jam yang lalu, ketika acara perpisahan tim KKN dengan warga desa. Bekerjasama dengan Remaja Masjid, Faisal dan kawan-kawan mengadakan pengajian akbar. Seluruh anggota kelompok mendapatkan pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Faisal kebagian jatah mengisi acara inti, mauidhoh khasanah. Hal ini bukannya tanpa alasan, karena Faisal adalah satu-satunya mahasiswa yang juga menjadi santri di salah satu pesantren terkenal di Salatiga. Sebenarnya bukan dia yang harus mengisi pengajian tersebut, namun ketika acara akan dimulai, ada berita mendadak yang mengabarkan bahwa kiai yang akan mengisi sakit sehingga tidak bisa menghadiri acara pengajian tersebut, panitia pun kalang kabut, akhirnya dengan sedikit memaksa disepakatilah Faisal sebagai pembicara pada acara tersebut.
Pada awalnya Faisal sedikit grogi dalam memberikan pengajian karena memang Faisal belum pernah mengisi sebuah acara pengajian apalagi yang hadir adalah warga satu desa ditambah rombongan dari bapak ketua jurusan. Beruntungnya Faisal hidup di lingkungan keluarga pesantren. Abahnya adalah seorang kyai di desanya, sehingga pengajian bukanlah sesuatu yang asing bagi Faisal - meski selama ini masih sebatas sebagai pendengar saja. Ditambah lagi Faisal merupakan santri senior di pondoknya, ia sering di ajak nderekke pak kyai berdakwah mengisi pengajian di desa-desa, ia selalu memperhatikan semua pengajian yang disampaikan kyainya dan akhirnya pengajian malam itu dapat dilaluinya dengan tanpa halangan yang berarti.
Malam semakin larut namun Faisal tak juga beranjak dari tempatnya merenung. Ada raut kesedihan, keragu-raguan atau entah raut muka apa yang tergambar pada wajahnya. Berulangkali ia mendesah seolah memikul beban yang amat berat. Semua itu berawal sehabis ia mengisi pengajian tadi. Ketika acara baru saja selesai, Pak Zuhdi seorang guru agama di sekolah dasar desa tersebut menemuinya. Ia mengatakan dengan terus terang kepada Isal bahwa anaknya yang bernama Dewi sang ketua remaja Masjid Nurul Iman menangis di hadapan bapaknya pada sore hari sebelum malam perpisahan itu. Ia berterus terang bahwa ia amat mencintai Faisal.
“Sal, ngapain kamu di situ”, teriak Anas sang ketua kelompok.
“Gak apa-apa Nas, aku hanya lelah saja kok”.
“Cepet pulang, kamu dicari Dewi di posko!
Hati Faisal berdesir mendengar nama Dewi disebut segera ia bangun dan pulang menuju posko. Sementara ia lihat teman-temannya masih sibuk bersenda gurau dengan para pemuda kampung. Faisal berjalan dengan langkah setengah berlari, ia ingin cepat-cepat sampai ke posko yang sebenarnya tidak begitu jauh itu.
“Assalamu’alaikum”. Ucap Faisal begitu sampai di depan pintu posko.
“Nah…..ini dia yang ditunggu-tunggu,” bukan jawaban salam yang diperoleh namun ledekan para penghuni posko yang terdengar serempak.
Dewi yang duduk di ruang tamu hanya senyam-senyum, kepalanya tertunduk ada rona malu di wajahnya. Dada Faisal berdetak dengan keras, degup jantungnya naik turun, ia terkesima pada kecantikan Dewi dengan balutan kerudung putih pada wajahnya, mahasiswi Fakultas Psikologi semester empat di Universitas Negeri di Magelang itu tampak anggun dengan baju gamis warna biru muda yang dikenakannya. Faisal mengatur ritme nafasnya perlahan-lahan ia berusaha menguasai perasaannya.
“ Kamu belum pulang to Wi”. Tanya Faisal dengan agak gugup.
“Sudah mas, tapi kesini lagi setelah bapak pulang tadi, mas Isal sudah mendengar semua dari bapak to?
“ Sudah wi, tapi….”
“ Tapi apa mas, apa mas Isal sudah punya yang lain?”
“ Bukan begitu Wi, aku tidak bisa memutuskan dalam waktu sesingkat ini, tapi aku janji aku pasti akan memberikan jawabannya”.
Keduanya terdiam, mereka sibuk dalam pikirannya masing-masing, Dewi terdiam dengan menyimpan sejuta harapan sedangkan Isal terdiam dengan setumpuk keraguan yang menghadang. Ketika suasana semakin kaku karena komunikasi yang belum juga terbangun, mereka diuntungkan dengan datangnya Farida, teman sekelas Isal yang terkenal pintar membanyol itu. Ia membawa tiga gelas teh hangat dan ikut nimbrung di ruang tamu itu. Akhirnya dalam waktu yang tidak lama, Dewi pulang ke rumahnya karena jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.00 dengan diantar oleh Isal dan Anas.
Keesokan harinya Isal hanya berpamitan dengan pemilik rumah yang ditempati sebagai posko saja, Isal tidak mampir ke rumah Pak Zuhdi karena Faisal tahu bahwa rumah itu tidak ada orangnya. Ayah Dewi pasti ada di sekolahan sedangkan Ibunya juga seorang guru TK sedang Dewi sendiri juga sudah berangkat kuliah pagi-pagi tadi, hal ini diketahuinya dari sms Dewi sehabis subuh tadi. Dengan diantar sampai ujung desa oleh para penduduk, Faisal dan rombongannya meninggalkan Desa Pakis yang menjadi kenangan mereka selama dua bulan tersebut.

®®®

Jarum jam baru menunjukkan pukul 8 pagi. Tampak Faisal sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Yamaha Vega R yang menjadi teman setianya sejak ia kuliah di Salatiga itu sudah ia keluarkan dari kandangnya. Terdengar dari dalam aula suara teman-teman Isal yang masih mengaji atau bersenda gurau. Isal memang tinggal di sebuah pondok pesantren mahasiswa di pinggiran Kota Salatiga. Sejak pulang dari KKN kemarin Faisal belum kembali ke rumahnya di Undaan Kudus, ia langsung menuju pondoknya. Namun ia berencana untuk pulang siang nanti, Faisal ingin secepatnya mengadukan persoalan yang dihadapinya dngan orang tuanya.
Hari ini Isal ada janji dengan teman-temannya untuk menyusun laporan kegiatan KKN kemarin karena para mahasiswa yang mengikuti Kuliah Kerja Nyata harus sudah memberikan laporannya kepada Fakultas satu minggu setelah KKN selesai. Dengan mencangklong tas punggung kesayangannya serta helm cakil yang sudah buram catnya itu tiba-tiba Isal urung untuk menaiki sepeda motornya karena HP Nokia 3310 nya berbunyi. Ada SMS masuk.
“Ass. sedang apa mas, sudah matur sama abah lom?” ternyata SMS dari Dewi.
‘alaikumslm, maaf Wi, aku blm s4 plg rumah, coz masih mo buat laporan KKN”.
“gpp mas, yang penting jawabannya aku tuggu,I M U”.
Sejenak Faisal tertegun membaca kata terakhir SMS dari cewek calon sarjana psikologi tersebut, ingin ia membalas namun belum sempat menulis ada SMS yang masuk lagi yang ternyata dari Anas yang mengabarkan bahwa dirinya telah ditunggu teman-teman di kampus, akhirnya ia urungkan membalas SMS Dewi karena ia harus cepat-cepat sampai di kampus.

®®®
Sehabis salat Magrib, Faisal berencana matur kepada abah tentang persoalan yang ia hadapi. Sebenarnya ia ingin menyampaikan sore tadi ketika baru saja tiba di rumah, namun ia melihat abahnya sedang asyik berbincang-bincang dengan seorang tamu. Tampak sekali kalau abahnya dengan tamu tersebut sangat akrab. Berulang kali tawa keduanya terdengar berderai. Meskipun perasaannya sudah meledak-ledak untuk menyampaikan isi hati kepada orang tuanya, Faisal harus bersabar sampai tamu abahnya itu pulang. Beban hati yang ditanggungnya dari Salatiga tadi pagi dengan terpaksa harus ditahannya lebih lama lagi. Akhirnya Faisal menghabiskan waktu sore dengan tiduran di kamar untuk melepas lelah setelah selama hampir dua jam ia berkendara sepeda motor dari Salatiga. Alih-alih bisa tidur, untuk memejamkan mata saja Faisal sulit karena bayangan Dewi dan orang tuanya terus saja menari-nari di pelupuk matanya.
Dengan kegelisahan yang menyeruak Faisal sudah mendahului abahnya duduk di ruang tengah rumahnya. Ia sudah sangat hafal dengan kegiatan bapaknya, hampir dipastikan sepulang dari masjid, abahnya pasti akan duduk di ruang keluarga asyik melinting tembakau “Dadi” kesayangannya sembari menunggu waktu Isya’ tiba. Namun ternyata Faisal salah mengira sebab semuanya telah berbeda dengan sebelum ia melanjutkan kuliah di Salatiga, abahnya harus menggantikan pak dhe Ridwan mengajar diniyah di serambi masjid sejak pak dhe Ridwan sakit-sakitan, begitu jawab ibunya setelah ia bertanya mengapa abah tidak segera pulang. Maka, jadilah waktu Magrib hari itu seolah-olah menjadi waktu Magrib yang paling panjang dalam hidup Faisal hingga akhirnya terdengar suara azan isya’ berkumandang, maka hati Faisal menjadi sedikit lega.
“ Bagaimana KKNmu, Sal?” Tanya abahnya setelah pulang dari masjid.
“ Alhamdulillah, semua lancar Bah” jawab Isal dengan sedikit bergetar.
“Sal, aku ingin ngomong persoalan serius dengan kamu, aku harap kamu dapat mempertimbangkan baik-baik hal ini”.
“Insyaallah Bah, namun masalah apa Bah?”
“Ini tentang kamu, tentang keinginan almarhum kakekmu, tentang perjuangan yang telah dirintis oleh beliau, dan juga tentang masa depanmu”. Sejenak abahnya Faisal menghisap tembakau yang sudah ada di sela-sela jari kanannya kemudian ia lanjutkan lagi bicaranya.
“Sore tadi Kyai Syukron, teman abahmu nyantri di Poncol dulu kesini, beliau menanyakan tentang kamu, beliau bermaksud menjodohkan Aisya, putrinya yang sudah hafizoh itu dengan kamu”.
Bagaikan disambar petir di siang bolong perkataan abahnya itu mengagetkan Faisal. Dengan sekuat tenaga Isal menyembunyikan kekagetan itu dari wajahnya.
“Ta..tapi bah, Isal kan belum selesai kuliahnya terus Isal kan juga belum punya pekerjaan yah ?”
“Jangan khawatir, kamu dapat menyelesaikan kuliahmu dulu, Kyai Syukron hanya menunggu kepastianmu itu saja...
“ Tapi bah,” potong Faisal. “Isal kan juga belum punya pekerjaan”.
“Soal itu kamu juga tidak perlu khawatir, Kyai Syukron sudah memikirkannya”.
“Isal akan pikir-pikir dahulu bah”.
“Baiklah, tetapi satu hal yang harus kamu ingat bahwa hal ini adalah keinginan kakekmu, juga menurut pendapatku hanya ditanganmulah pesantren kakekmu di desa ini dapat hidup kembali, namun semua ini tergantung keputusanmu sendiri”.
“Baik bah, doakan Isal dapat mengambil keputusan yang terbaik”. Jawab Faisal sambil berlalu meninggalkan abahnya menuju ke kamar.
Hampir semalaman Faisal tidak dapat memejamkan matanya, pikirannya terus berkelana mencari jawaban antara dia menerima Dewi atau mengikuti kehendak ayahnya. HP miliknya ia matikan, karena dia sangat yakin bahwa Dewi pasti akan berusaha menghubunginya sedangkan Faisal belum memiliki jawaban.
Ayam sudah berkokok sebagai tanda fajar akan menjelang, lambat laun suara azan subuh terdengar mengalun. Segera Faisal bangun dari tidurannya, diambilnya air wudu untuk melaksanakan salat subuh. Selesai salat barulah Faisal dapat memejamkan matanya hanya untuk satu jam karena jam 10 ia harus sudah sampai di Salatiga kembali.

®®®

Sepulang dari kampus Faisal langsung pergi ke ndalem. Disamping akan menyampaikan salam abahnya kepada pak kyai, Faisal juga bermaksud meminta nasehat kepada beliau tentang permasalahan yang dihadapinya. Memang sudah menjadi kebiasaan anak-anak santri di pondoknya apabila mempunyai persoalan yang serius selalu lari kepada pak kyai. Mereka sudah menganggap Pak Kyai dan Bu Nyai sebagai orang tuanya sendiri. Para santri tersebut berharap dapat menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapinya, atau paling tidak mendapatkan penenang jiwa dari nasehat-nasehat yang disampaikan oleh beliau.
“Apakah tidak sebaiknya kamu salat istikharoh dulu Sal?”, kata pak kyai setelah Faisal menceritakan semuanya.
“Baik kyai”, jawab Faisal pendek.
“Kalau boleh tahu kyai, isyarat apa nantinya pada hasil usaha kita setelah salat istikharoh kyai?” sambung Faisal.
“Keyakinan hati kamu”, Jawab Pak Kyai singkat.
Ada sedikit perasaan lega di hati Faisal, iasegera kembali ke pondok setelah sebelumnya berpamitan kepada pak kyai. Terbersit sebuah perasaan bahwa keputusan yang akan diambilnya akan sedikit bertentangan dengan hatinya, namun Faisal terus meneguhkan hatinya untuk menyerahkan urusan ini kepada Allah, ia akan khususkan malam ini untuk mermunajat memohon pertolongan dan petunjuk kepadaNya.

®®®

Sepertiga malam yang terakhir adalah waktu yang mustajabah untuk berdoa. Dalam keremangan kamar pondoknya, Faisal masih bertafakur memutar tasbih di tangan kanannya. Bibirnya tek henti-henti menggumamkan kalimat pujian kepada sang Pencipta cinta. Sajadah yang telah basah oleh air mata seolah ikut larut berzikir melantunkan tasbih, tahmid, takbir dan istighfar yang menggema dan memenuhi relung hati Faisal. Sebuah doa ia ucapkan dengan hati yang ikhlas dan mengharapkan kasih sayang sang Tuhan untuk menunjukkan hambaNya yang sedang berada dalam persimpangan jalan. Kedua tangannya ia tengadahkan ke langit untuk menyambut kasih sayang dari Yang Maha Rahman dan Rahim. Dengan mata yang bercucuran airmata dan hati yang merasa hina mulutnya terus menerus mengulang permohonannya kepada Allah.
“allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka biqudrotika wa asaluka min fadlika al ‘azim”
Dalam zikir panjangnya itu, Faisal berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia merasa seolah-olah semua benda yang ada dalam ruangan itu ikut berzikir memuji Allah, suara-suara tasbih, takbir dan tahmid terngiang-ngiang di telinganya, semua yang berujud makhluk seolah tidak mau ketinggalan meramaikan suasana malam itu. Tidak lama sesudah itu mendadak semuanya menjadi hening, hanya detik-detik bunyi jarum jam yang terdengar. Dalam keasyikannya menikmati kesunyian, Faisal melihat dengan samar-samar sebuah bayang-bayang seseorang yang sudah tua mendekatinya. Faisal merasa bahwa ia sudah sangat mengenalnya, namun ia belum pernah melihatnya, namun Faisal yakin bahwa itu adalah kakeknya, ya orang itu adalah ayah dari abahnya yang sudah wafat jauh sebelum Faisal lahir. Orang itu semakin dekat dan ia tersenyum kepada Faisal. Entah kenapa melihat senyuman orang tua yang ia yakini sebagai kakeknya itu hati Faisal bagai diguyur air es di padang sahara, sejuk bagai embun pagi yang belum hilang diterpa panas matahari. Hati Faisal begitu damai.
Faisal mengakhiri qiyamu lailnya ketika terdengar sayup-sayup suara azan subuh memecah kesunyian, segera ia pergi ke masjid untuk salat subuh berjamaah. Sehabis salat barulah Faisal sadar dengan peristiwa aneh yang dilalui pagi buta tadi. Kakeknya datang menemui, seakan itu semua adalah isyarat yang menjadi jawaban dari pertanyaannya selama ini. Hari itu adalah Hari Jumat dimana kegiatan pengajian subuh libur. Faisal memanfaatkan waktu untuk membaca surat yasin kemudian ia lanjutkan membaca tahlil yang ia khususkan kepada almarhum kakeknya. Setelah selesai berdoa diambilnya HP miliknya, dihidupkannya HP yang sudah tiga hari ini selalu dinonaktifkan. Faisal telah telah sampai keyakinannya, bahwa ia akan menerima dengan ikhlas keputusan abahnya untuk dijodokan dengan Aisya, putri dari sahabat abahnya, meski nun jauh di sana Faisal tahu sang calon psikolog akan berurai air matanya membaca SMS darinya.

“Allahummagfirlana dzunubana wa khothoyana kullaha….”

Watuagung, 22 Desember 2009

Senin, 11 Januari 2010

JON MARMUT

Nama panggilannya Jon Marmut (meski nama sebenarnya bisa dibilang sangat bagus: Muhammad Manshuril Mahmud). Perawakannya pendek, agak gemuk dengan perut agak buncit. Dan, mulutnya itu lho, sukar sekali untuk dirapatkan, terhalang oleh giginya yang senantiasa pengen memperlihatkan diri. Dari bodinya itu, menurut orang jawa sih disebutnya demplek, yah…mirip-mirip hewan marmut alias kelinci. Mungkin nama panggilannya itu ia dapatkan dari bodi dempleknya ditambah dengan nama belakangnya itu.

Dari segi pembawaan, jelas dia bukanlah lelaki tulen yang biasa jadi idaman para gadis-gadis desa ditempatnya. Alih-alih malah ia lebih endel dan kemayu dibanding gadis-gadis desa itu. Malahan, karena pembawaannya itu ia sering dianggap banci. Wualah…marah betul ia jika mendengar ejekan tersebut. Jon merasa dirinya lelaki sejati. Soal pembawaan yang kalem, menurutnya sudah gawan bayi. Tapi bukan berarti orang-orang bisa mengejek sak enak udelnya sendiri. Baginya, menghina ciptaan Allah, sama saja menghina Allah itu sendiri.

Untuk membuktikan kelelakiannya, Jon Marmut sering berpakaian layaknya lelaki tulen pada zaman nabi. Pakai jubah lengkap dengan udeng-udeng di kepala, ditambah lagi jenggotnya yang cuma berjumlah tak lebih dari dua puluh ia coba panjangkan.

Dan, iktiar yang demikian ternyata manjur. Ia terlihat gagah dan sedikit lebih ganteng dari sebelumnya. Maklum, sebenarnya Jon Marmut pernah tinggal di Arab, meskipun sekedar sebagai TKI. Waktu tiga tahun di sana, tentu sudah cukup baginya untuk mengamati dan memfasihkan cara berpakaian macam sahabat Nabi itu.

Tapi akhir-akhir ini penduduk kampung dibuat kaget dan terheran-heran. Jon Marmut berubah seratus delapan puluh sembilan derajat. Jubah dan udeng-udeng tak lagi ia kenakan. Belasan jenggotnya ia babat habis sampai mlunthus.

Jubah ia gantikan dengan kaos oblong bercorak kaum rasta, lengkap dengan gambar daun ganja. Celana putih berbahan lembut yang sering ia kenakan untuk melengkapi jubah, ia gantikan dengan celana jean lusuh, bahkan sedikit robek di bagian lutut. Lengkaplah ia seperti ‘rocker kesiangan’ yang sering manggung di lampu-lampu merah di perempatan jalan. Semua teman se-pengajian menjadi bingung dengan perubahan yang drastis itu.

“Apa si Jon ini kesambet arwah penunggu lampu merah, koq bisa-bisanya dia dengan PeDe menggunakan pakaian norak kayak gitu?” Tanya mas Taufik pada jamaah pengajian selepas shalat isya’.

“Ah, ya nggak mungkin tho, lha wong si Jon kita ini wiridnya mantheng, shalat lima waktu juga mesthi pada waktunya, belum lagi ditambah dengan puasa senin kamis yang sering dia lakoni. Mana kuat setan merasuki jiwanya!!??” Jawab Lik Di kelihatan serius. Saking seriusnya sampai ludahnya muncrat kesana kemari. Untungnya teman-teman sudah antisipatif terhadap fenomena alamnya Lik Di yang sudah lazim terjadi ini.

“We…jangan salah. Kata ustadz Muslih, nabi Adam aja yang maqomnya seorang nabi dan rasul masih juga kena goda setan dan iblis. Apalagi cuma Jon Marmut yang maqomnya masih ecek-ecek alias kelas teri.” Timpal mas Taufik lagi.

“Lantas ya apa alasan Jon Marmut koq sampe sedemikian parahnya ?” pakdhe Mungin jadi ikut-ikutan mikir.

“Apa mungkin dia mutung karena kena sindir Ustadz Muslih pas pengajian kemarin ?” kata mas Taufik menduga-duga.

“Walah, ya nggak mungkin. Si Jon ini meskipun mukanya agak sedikit sangar karena jenggot dan gigi tonggosnya itu, tapi dia nggak gampang nesu, nggak temperamen kayak sampeyan yang dikit-dikit marah, dikit-dikit ngambeg. Mosok cuman karena keterangan ustadz yang njelaske soal adanya kaum khuntsa yang ditakdirkan setengah laki-laki dan setengah perempuan, koq si Jon sampe berubah. Nggak mungkin. Lagian, dia kan sudah mendapat sertifikasi lelaki tulen, ya setelah ia pakai surban dan udeng-udengnya itu. Terus mau-maunya dia pensiunkan busana yang telah berjasa membantunya menjadi lelaki sejati itu? Ya nggak mungkin tho…” sanggah Lik Di.

“Ee…lho, sampeyan koq terus manas-manaske kuping tho. Yang sedang kita bahas ini beliau Muhammad Manshuril Mahmud alias Jon Marmut, bukan saya. Lha koq sampeyan malah membanding-bandingkan perangai saya dengan dia. Ya jelas beda. Kalau si Jon mau sabar, alim dan nggak bringasan ya itu urusan dia. Tapi kalau saya, siapa yang berbuat salah ya harus diluruskan, harus kita ingatkan semampu kita. Kalau mampunya kita pakai kekuasaan ya pakai kekuasaan, kalau mampunya kita pakai tangan ya pakai tangan dan kalau mampunya kita pakai omongan ya kita luruskan pakai omongan. Bukankah begitu perintah Kanjeng Nabi Muhammad lewat hadisnya. Malahan menurut Kanjeng Nabi, sabar dan diam, seperti diamnya Si Jon ketika melihat kemungkaran, itu dianggap sebagai selemah-lemahnya iman. Sopo sing mau imannya dianggap lemah ? lak yo nggak ada tho…?” Argumen mas Taufik membela diri karena merasa disentil.

“Ya ini, ini….yang buat sampeyan dianggap temperamen. Sithik-sithik langsung ngomongnya pake nada tinggi. Eh, Mas Taufik, ngomong-ngomong soal hadis Nabi, Kanjeng Nabi juga pernah dawuh: ‘yassiraa walaa tu’assiraa bassyiraa walaa tunaffiraa’ yang maknanya ‘permudahlah jangan kamu persukar, gembirakanlah jangan kamu takut-takuti’. Gitu mas…lha sampeyannya itu kalau mau amar ma’ruf nahi munkar pake jalan asal gebuk, asal hantam sak kuate, ya bertentangan dengan perintah nabi juga. Artinya kalau mau ngandani orang itu ya mbok pake jalan sing sabar, cara yang halus menurut besar atau kecilnya masalah yang dihadapi, tidak lantas asal ngandani…” debat Lik Di, tentu tak ketinggalan disertai dengan hujanan air liur yang semakin deras menandakan ketegangan omongannya.

“Tapi orang-orang kaya Amerika itu kalau ndak digitukan ya makin kelewatan, makin ngidap-idapi. Orang Islam macam kita ini yang jadi korban. Indonesia yang kaya raya dengan pemeluk macam-macam agama aja diobrak-abrik dengan dalih kerjasama dan penanaman investasi demi kemajuan negeri kita yang katanya sedang berkembang. Alasannya bagus tapi itu sekedar tuk nutupi niat jahatnya pada kita. Kita aja yang nggak peka, nggak mudengan kalau kita sedang dikerjain…” timpal Mas taufik membela diri lagi.

Wis…uwis…sampeyan berdua ini lho malah jadi kaya musuhan. Mbok ya sudah, kita kembali ke akar permasalahan, jangan trus ngoyoworo kemana-mana sampe persoalan dan prinsip pribadi dibawa-bawa segala.” Pakdhe Mungin yang sedari tadi cuma mlongo akhirnya jengkel juga melihat kelakuan dua rekan yuniornya.

“Habis mas taufik itu…..” kata Lik Di terhenti dipenggal Pak Dhe Mungin.

“Uwiiiis….wis itu ya wis. Titik ndak ada koma. The end alias tamat alias sodaqallaul ‘adzim. Kalau mo bicara harus dengan tema dan judul yang lain, nggak boleh kembali ke pembicaraan yang berjudul ‘perpecahan antara saudara seiman’ tadi. Ntar Amerika dan kroni-kroninya kalau lihat kamu berdua mesti kipyak, jingkrak-jingkrak senang bukan karuan. Mau dilihat kayak gitu ?” nada Pakdhe Mungin kelihatan agak tinggi, naga-naganya agak marah juga dia.

Tentu saja yang lainnya jadi mak klakep, diam seribu bahasa, cilang-cileng kaya cacing kepanasan, matanya cuma brani lihat ke bawah, Nggak yak-yak’an lagi kaya pas berdebat tadi.

Wis, gini aja, lebih baiknya kita datangi si Jon Marmut yang jadi sumber kebingungan kita ini. Kita tanyai dia, mungkin dia mau terus terang dengan permasalahannya. Mungkin juga kita bisa bantu carikan jalan keluarnya.” Lanjut Pakdhe Mungin.

Omong punya omong, disepakatilah mereka bertiga hendak bertamu ke rumah si Jon Marmut besok malam jum’at kliwon jam setengah sembilan malam, pas mbarengi rembulan kelihatan penuh. Bukan karena tahyul atau wangsit klenik atau juga perhitungan jawa yang kadang sok nggak masuk di akal, tapi ya karena sinarnya bulan itu biar jalan lebih terang, biar mereka nggak perlu repot-repot bawa obor. Cuma karena itu.

Soal malam jum’at, karena pada malam itu biasanya si Jon pasti di rumah, ngamalke wiridnya yang puanjang kaya kolornya celana mbah Karto. Soal kliwon, karena malam jum’at besok, malam jum’at yang paling dekat, pas tiba pasaran kliwon. Jadi insya allah niat mereka bersih dan jauh dari apa yang oleh orang-orang Wahabi dianggap bid’ah.

****

“Weealah, Jon. Kamu koq tambah gagah aja. Ototmu mbrenjol-mbrenjol yang koyo jengkol, itu sampe kelihatan. Wis tho, pokok’e kamu ini wis persis kaya Rambo. Sing beda paling cuma gigimu thok. Kalau Rambo kan giginya racak bagus dan rapi, tapi kalau milik kamu……” begitu gurauan Lik Di pada Jon Marmut di malam jumat seperti yang telah menjadi rencana mereka.

Mendengar itu, si Jon tak berkomentar, hanya sedikit senyum kecil yang kelihatan kecut seolah mencibir dirinya sendiri. Meskipun begitu, ia perlihatkan juga barisan gigi tonggosnya di balik senyuman yang tentu saja jauh dari istilah menggoda. Tapi sama sekali si Jon tak marah, berarti apa yang dikatakan Lik Di soal sabarnya si Jon sudah terbukti.

“Ngomong-ngomong, Jon. Kedatangan kami ke sini ini lak karena kebingungan tho lihat perubahan drastis cara berpakaian kamu. Tadinya kami bangga lihat kamu brani berpakaian kaya orang Arab, maklum jaman sekarang pake pakaian macam gituan dianggap usang, kuno dan ketinggalan zaman. Tapi pas kekaguman kami menjadi-jadi, tiba-tiba kamu merubah cara berpakaianmu. Wis jan, sekarang tu sampeyan kayak nom-noman beneran. Jangan-jangan sampeyan juga sudah anggap surban dan udeng-udeng macam itu ketinggalan zaman ? klo begitu bahaya ni…..” kata Mas Taufik langsung pada pokok permasalahan, mencoba mengalihkan pembicaraan Lik Di karena merasa dirinya kalah bukti soal kesabaran Jon Marmut.

“Bahaya gimana, mas?” Tanya si Jon, mbodoni.

“Ya bahaya, bahkan ini sumber kehancuran umat Islam. Bayangkan surban dan udeng-udeng itu kan sudah kadung jadi trend mark dan identitas keislaman kita. Lha kalau pioneer dan penggerak agama macam si Jon ini saja sudah malu pake surban dan udeng-udeng, apa nggak kiamat masa depannya syiar Islam kita ?” jawab Mas Taufik, sampe-sampe nggak sadar keluar tabiat kerasnya.

“Kali ini analisa sampeyan saya akui sangat-sangat brillian, mas. Kok kadingaren tho?” canda Lik Di menggoda rekannya.

“Kadingaren…buathukmu..!” yang digoda nyatanya jengkel juga.

Wiswis. Ini kalau nggak dihentikan sejak awal bisa ngombro-ngombro. Kita langsung tanya saja pada si Jon. Gimana Jon menurut pendapatmu?” kembali Pakdhe Mungin memposisikan diri sebagai penengah andal.

“Gini yo mas, lik dan pakdhe. sebelumnya saya minta maaf kalau saya sudah bikin njenengan bertiga kebingungan. Tapi niat saya bisa ditanggung bukan karena pancen mau bikin kebingungan. Ndak mungkin tho, saya yang masih hijau ini nekat melakukan hal itu pada njenengan-njenengan yang merupakan senior saya. Bisa-bisa kualat saya kena semburan ludahnya Lik Di.” Si Jon mulai buka suara sambil bercanda.

Lanjutnya, “soal pendapat Mas Taufik tentang perkiraan beliau mengenai saya yang dianggap malu memakai pakaian identitas muslim berupa surban dan udeng-udeng itu, juga nggak bener. Kalau boleh saya mengkritisi apa yang telah menjadi perkataan mas Taufik tadi, menurut saya itulah kelemahan orang Islam. Kita, sebagai orang Islam, sebenarnya sudah terlalu terlarut mendewakan symbol-simbol agama macam surban dan udeng-udeng tadi. Padahal belum tentu symbol macam itu bisa menjamin tingginya tingkat keimanan dan ketaqwaan seseorang. Bisa saja gelandangan yang berpakaian apa adanya, dia lebih alim dan beriman ketimbang saya ketika memakai surban dan udeng-udeng. Yang penting kan batinnya, soal penampilan dhohir itu bisa jadi nomor ke-tiga puluh sekian, karena sejatinya apa yang tampak bisa saja menipu mata dan penglihatan. Ini salah satu alasan saya menanggalkan pakaian yang dianggap mas Taufik sebagai trend marknya umat Islam.”

“Oooo…jadi, sampeyan pengin ikut-ikutan menipu orang laen dengan gaya busana kamu yang bisa dibilang tak karuan ini. Menipu bisa dianggap dosa lho, Jon !” kata Pakdhe Mungin memutus pembicaraan Jon Marmut.

“Ya bukan begitu, pakdhe. Penginnya saya sih sederhana. Sebaliknya, saya nggak ingin orang-orang tertipu dengan mengira saya ini orang pinter, ngalim soal agama, padahal niat awal saya pake surban dan udeng-udeng kan cuma biar dianggap sebagai lelaki sejati. Kalau tak pikir-pikir, ini niatnya saja sudah salah. Padahal lagi, otak saya ini kan kosong mlompong, nggak ada ilmu yang mau mengisinya, tentu saja karena teramat sangat bahlulnya saya untuk belajar.”

“Tapi bukankah Allah akan menjamin rezeki umatnya jika umat itu mau menolong agama Allah. Sampeyan yang sudah mau menolong agama Allah melalui syiar lewat pakaian itu ya pantes menerima imbalan pertolongan Allah. Anggap saja begini, sampeyan sudah menjadi ‘iklan’ busana muslim yang resmi-resmi menutup aurat, ini kan menolong agama Allah. Lantas sampeyan mendapat pengakuan akan kelelakian sampeyan, ini kan balasan Allah juga. Jadinya klop, draw alias lunas.” Begitu Mas Taufik ikut meyakinkan Jon Marmut.

“Apalagi, Jon, sampeyan yang sudah terlanjur terkenal lebih alim dari kita-kita, bahkan sudah diangkat sumpah jabatannya sebagai guru ngaji anak-anak, kemudian tiba-tiba berpakaian di bawah standar ala kadarnya, bisa-bisa anak-anak meniru kelakuan gurunya yaitu sampeyan. Ingat lho, guru itu digugu lan ditiru. Wis gini Jon, pokoknya kami sudah sangat mengkhawatirkan efek buruk dari perubahan kamu. Kalau boleh kami mengingatkan, sadar dan kembalilah ke busana yang diridhai Allah. Jangan kamu teruskan memakai busana setan macam itu !” Dengan suara tegas Lik Di mencoba mengultimatum Si Jon.

Mendengar himbauan yang lebih mirip ancaman ini, si Jon geleng-geleng kepala. Dengan suara yang ditenang-tenangkan, dia mulai berkata serius, “tapi gini juga lho para tamu saya yang terhormat. Saya kan baru bilang, itu adalah alasan saya yang pertama. Belum juga saya kemukakan alasan pokok saya merubah penampilan, njenengan-njenengan yang lebih senior umurnya dari saya koq nggak sabar. Jadi alasan saya sebenarnya begini…….”

Kata-kata Jon Marmut tiba-tiba berhenti mendadak, mulutnya kaya ada rem cakramnya, mak settttt. Yang mendengar karuan saja penasaran. Mereka sudah kadung ambil duduk dengan sikap sempurna untuk mendengar alasan si Jon. Malah-malah mulut Lik Di saja sudah mlongo kaya gua Selarongnya Pangeran Diponegoro. Tapi si Jon dengan kurang ajarnya mengacak-acak perasaan orang yang katanya sudah dianggap sebagai seniornya sendiri, meskipun cuma senior umurnya, sedang pengetahuannya jelas di bawah si Jon. Lak ya jan kurang ajar tenan si Jon Marmut ini.

“Begini….bagaimana Jon? mbok jangan suka bikin dada pakdhemu ini tratapan. Untung jantung pakdhe ini gak penyakitan. Coba bayangkan jika saja pakdhemu ini gak suka olahraga, bisa-bisa pakdhe jantungan lantas mati mendadak. Nanti kamu juga yang disalahkan.” Pakdhe Mungin terlihat sudah tidak sabar.

“Ini juga pakdhe yang paling sepuh umurnya malah ngompor-ngompori lainnya agar tidak sabar.” Balas Jon Marmut sambil membetulkan posisi duduknya yang sudah tidak nyaman lagi.

“Begini pakdhe, Lik Di, dan Mas Taufik. Beberapa hari yang lalu kan kita semua sama-sama mengetahui bahwasanya yang terhormat pak penegak hukum di Jakarta sana mengumumkan, demi stabilitas keamanan nasional dari serangan teroris, mereka akan mengawasi dakwah-dakwah yang dilakukan di musholla dan masjid-masjid. Ini kan pertanda tidak baik. Belum lagi, dari kata-kata, kalimat-kalimat dan petunjuk-petunjuk yang super-super over acting itu, jelas-jelas mengarah pada usaha-usaha killing-character alias pembunuhan karakter. Coba bayangkan, terorisme coba mereka asumsikan dengan agama Islam, dengan pengajian dan dakwah-dakwah, dan yang terpenting bagi saya…ya dengan busana-busana muslim semacam surban dan udeng-udeng yang biasa saya pakai. Parahnya lagi, kemudian dengan asumsi dan anggapan keliru semacam itu, mereka melakukan penangkapan yang asal-asalan. Siapa pakai surban, siapa pakai udeng-udeng, siapa berjenggot, mencurigakan sedikit harus ditangkap. Tapi nyatanya, setelah diperiksa dengan prosedur bertele-tele banyak dari hasil penangkapan itu dibebaskan dengan alasan tidak terlibat dalam jaringan terorisme. Ini kan sudah dholim namanya. Sayangnya, kodholiman itu terlihat legal dan sah di mata petinggi-petinggi negeri ini. Memang sudah kebalik pola pikir kita-kita ini. Nggak dari pejabat, bahkan rakyatnya pun ikut-ikutan seolah jadi laknat. Mereka yang seharusnya membuat perasaan rakyat kecil tenang malah membuat rakyat kelimputan tidak karuan.”

“Lha…dengan alasan membahayakan diri sendiri inilah saya kemudian berusaha merubah penampilan saya. Ini juga saya sudah manut sama hadis kanjeng nabi lho. Menurut beliau, jika kita hendak beribadah sunah namun dalam proses ibadah yang bersifat sunah itu terdapat resiko bahaya, maka tinggalkanlah. Anggap saja begini, saya berpakaian muslim ala sahabat nabi, ini kan cuma sunah, tapi mengandung resiko bahaya. Jika saja saya sedang jalan-jalan bertazdhabur ria untuk mensyukuri nikmat Allah, tapi kemudian saya jadi korban salah tangkapnya oknum polisi yang ngawur, kemudian saya disiksa, dipaksa mengakui perbuatan terorisme yang sebenarnya tidak saya lakukan, apa ini tidak konyol. Mendingan saya menyelamatkan diri dengan cara berpakaian yang oknum polisi sukai. Ya pakaian setan ini. Mereka kan lebih familiar dengan pakaian kaya setan ini, dibanding busana yang benar-benar sah menutup aurat dan diridhai Allah. Penampilan dhahir boleh asal-asalan, penting bathin kita tetap tertuju pada ridha Allah ta’ala….” Kata Jon menjelaskan duduk perkaranya.

Sampai disitu si Jon mengamati ketiga orang yang hendak mendemonya tadi. Tapi…..Pakdhe Mungin sudah keburu ngorok, Lik Di bercucuran air liur, dan Mas Taufik yang bersemangat itu…, dia sudah terlebih dahulu tersenyum dalam mimpi-mimpi tidurnya.

Jon melihat jam di HP-nya. 23.57 WIB, jam dua belas malam kurang 3 menit. Maklum.

Wallahu a’lam.