Nama panggilannya Jon Marmut (meski nama sebenarnya bisa dibilang sangat bagus: Muhammad Manshuril Mahmud). Perawakannya pendek, agak gemuk dengan perut agak buncit. Dan, mulutnya itu lho, sukar sekali untuk dirapatkan, terhalang oleh giginya yang senantiasa pengen memperlihatkan diri. Dari bodinya itu, menurut orang jawa sih disebutnya demplek, yah…mirip-mirip hewan marmut alias kelinci. Mungkin nama panggilannya itu ia dapatkan dari bodi dempleknya ditambah dengan nama belakangnya itu.
Dari segi pembawaan, jelas dia bukanlah lelaki tulen yang biasa jadi idaman para gadis-gadis desa ditempatnya. Alih-alih malah ia lebih endel dan kemayu dibanding gadis-gadis desa itu. Malahan, karena pembawaannya itu ia sering dianggap banci. Wualah…marah betul ia jika mendengar ejekan tersebut. Jon merasa dirinya lelaki sejati. Soal pembawaan yang kalem, menurutnya sudah gawan bayi. Tapi bukan berarti orang-orang bisa mengejek sak enak udelnya sendiri. Baginya, menghina ciptaan Allah, sama saja menghina Allah itu sendiri.
Untuk membuktikan kelelakiannya, Jon Marmut sering berpakaian layaknya lelaki tulen pada zaman nabi. Pakai jubah lengkap dengan udeng-udeng di kepala, ditambah lagi jenggotnya yang cuma berjumlah tak lebih dari dua puluh ia coba panjangkan.
Dan, iktiar yang demikian ternyata manjur. Ia terlihat gagah dan sedikit lebih ganteng dari sebelumnya. Maklum, sebenarnya Jon Marmut pernah tinggal di Arab, meskipun sekedar sebagai TKI. Waktu tiga tahun di
Tapi akhir-akhir ini penduduk kampung dibuat kaget dan terheran-heran. Jon Marmut berubah seratus delapan puluh sembilan derajat. Jubah dan udeng-udeng tak lagi ia kenakan. Belasan jenggotnya ia babat habis sampai mlunthus.
Jubah ia gantikan dengan kaos oblong bercorak kaum rasta, lengkap dengan gambar daun ganja. Celana putih berbahan lembut yang sering ia kenakan untuk melengkapi jubah, ia gantikan dengan celana jean lusuh, bahkan sedikit robek di bagian lutut. Lengkaplah ia seperti ‘rocker kesiangan’ yang sering manggung di lampu-lampu merah di perempatan jalan. Semua teman se-pengajian menjadi bingung dengan perubahan yang drastis itu.
“Apa si Jon ini kesambet arwah penunggu lampu merah, koq bisa-bisanya dia dengan PeDe menggunakan pakaian norak kayak gitu?” Tanya mas Taufik pada jamaah pengajian selepas shalat isya’.
“Ah, ya nggak mungkin tho, lha wong si Jon kita ini wiridnya mantheng, shalat
“We…jangan salah. Kata ustadz Muslih, nabi Adam aja yang maqomnya seorang nabi dan rasul masih juga kena goda setan dan iblis. Apalagi cuma Jon Marmut yang maqomnya masih ecek-ecek alias kelas teri.” Timpal mas Taufik lagi.
“Lantas ya apa alasan Jon Marmut koq sampe sedemikian parahnya ?” pakdhe Mungin jadi ikut-ikutan mikir.
“Apa mungkin dia mutung karena kena sindir Ustadz Muslih pas pengajian kemarin ?” kata mas Taufik menduga-duga.
“Walah, ya nggak mungkin. Si Jon ini meskipun mukanya agak sedikit sangar karena jenggot dan gigi tonggosnya itu, tapi dia nggak gampang nesu, nggak temperamen kayak sampeyan yang dikit-dikit marah, dikit-dikit ngambeg. Mosok cuman karena keterangan ustadz yang njelaske soal adanya kaum khuntsa yang ditakdirkan setengah laki-laki dan setengah perempuan, koq si Jon sampe berubah. Nggak mungkin. Lagian, dia
“Ee…lho, sampeyan koq terus manas-manaske kuping tho. Yang sedang kita bahas ini beliau Muhammad Manshuril Mahmud alias Jon Marmut, bukan saya. Lha koq sampeyan malah membanding-bandingkan perangai saya dengan dia. Ya jelas beda. Kalau si Jon mau sabar, alim dan nggak bringasan ya itu urusan dia. Tapi kalau saya, siapa yang berbuat salah ya harus diluruskan, harus kita ingatkan semampu kita. Kalau mampunya kita pakai kekuasaan ya pakai kekuasaan, kalau mampunya kita pakai tangan ya pakai tangan dan kalau mampunya kita pakai omongan ya kita luruskan pakai omongan. Bukankah begitu perintah Kanjeng Nabi Muhammad lewat hadisnya. Malahan menurut Kanjeng Nabi, sabar dan diam, seperti diamnya Si Jon ketika melihat kemungkaran, itu dianggap sebagai selemah-lemahnya iman. Sopo sing mau imannya dianggap lemah ? lak yo nggak ada tho…?” Argumen mas Taufik membela diri karena merasa disentil.
“Ya ini, ini….yang buat sampeyan dianggap temperamen. Sithik-sithik langsung ngomongnya pake nada tinggi. Eh, Mas Taufik, ngomong-ngomong soal hadis Nabi, Kanjeng Nabi juga pernah dawuh: ‘yassiraa walaa tu’assiraa bassyiraa walaa tunaffiraa’ yang maknanya ‘permudahlah jangan kamu persukar, gembirakanlah jangan kamu takut-takuti’. Gitu mas…lha sampeyannya itu kalau mau amar ma’ruf nahi munkar pake jalan asal gebuk, asal hantam sak kuate, ya bertentangan dengan perintah nabi juga. Artinya kalau mau ngandani orang itu ya mbok pake jalan sing sabar, cara yang halus menurut besar atau kecilnya masalah yang dihadapi, tidak lantas asal ngandani…” debat Lik Di, tentu tak ketinggalan disertai dengan hujanan air liur yang semakin deras menandakan ketegangan omongannya.
“Tapi orang-orang kaya Amerika itu kalau ndak digitukan ya makin kelewatan, makin ngidap-idapi. Orang Islam macam kita ini yang jadi korban.
“
“Habis mas taufik itu…..” kata Lik Di terhenti dipenggal Pak Dhe Mungin.
“Uwiiiis….wis itu ya
Tentu saja yang lainnya jadi mak klakep, diam seribu bahasa, cilang-cileng kaya cacing kepanasan, matanya cuma brani lihat ke bawah, Nggak yak-yak’an lagi kaya pas berdebat tadi.
“
Omong punya omong, disepakatilah mereka bertiga hendak bertamu ke rumah si Jon Marmut besok malam jum’at kliwon jam setengah sembilan malam, pas mbarengi rembulan kelihatan penuh. Bukan karena tahyul atau wangsit klenik atau juga perhitungan jawa yang kadang sok nggak masuk di akal, tapi ya karena sinarnya bulan itu biar jalan lebih terang, biar mereka nggak perlu repot-repot bawa obor. Cuma karena itu.
Soal malam jum’at, karena pada malam itu biasanya si Jon pasti di rumah, ngamalke wiridnya yang puanjang kaya kolornya celana mbah Karto. Soal kliwon, karena malam jum’at besok, malam jum’at yang paling dekat, pas tiba pasaran kliwon. Jadi insya allah niat mereka bersih dan jauh dari apa yang oleh orang-orang Wahabi dianggap bid’ah.
****
“Weealah, Jon. Kamu koq tambah gagah aja. Ototmu mbrenjol-mbrenjol yang koyo jengkol, itu sampe kelihatan.
Mendengar itu, si Jon tak berkomentar, hanya sedikit senyum kecil yang kelihatan kecut seolah mencibir dirinya sendiri. Meskipun begitu, ia perlihatkan juga barisan gigi tonggosnya di balik senyuman yang tentu saja jauh dari istilah menggoda. Tapi sama sekali si Jon tak marah, berarti apa yang dikatakan Lik Di soal sabarnya si Jon sudah terbukti.
“Ngomong-ngomong, Jon. Kedatangan kami ke sini ini lak karena kebingungan tho lihat perubahan drastis cara berpakaian kamu. Tadinya kami bangga lihat kamu brani berpakaian kaya orang Arab, maklum jaman sekarang pake pakaian macam gituan dianggap usang, kuno dan ketinggalan zaman. Tapi pas kekaguman kami menjadi-jadi, tiba-tiba kamu merubah cara berpakaianmu.
“Bahaya gimana, mas?” Tanya si Jon, mbodoni.
“Ya bahaya, bahkan ini sumber kehancuran umat Islam. Bayangkan surban dan udeng-udeng itu
“Kali ini analisa sampeyan saya akui sangat-sangat brillian, mas. Kok kadingaren tho?” canda Lik Di menggoda rekannya.
“Kadingaren…buathukmu..!” yang digoda nyatanya jengkel juga.
“
“Gini yo mas, lik dan pakdhe. sebelumnya saya minta maaf kalau saya sudah bikin njenengan bertiga kebingungan. Tapi niat saya bisa ditanggung bukan karena pancen mau bikin kebingungan. Ndak mungkin tho, saya yang masih hijau ini nekat melakukan hal itu pada njenengan-njenengan yang merupakan senior saya. Bisa-bisa kualat saya kena semburan ludahnya Lik Di.” Si Jon mulai buka suara sambil bercanda.
Lanjutnya, “soal pendapat Mas Taufik tentang perkiraan beliau mengenai saya yang dianggap malu memakai pakaian identitas muslim berupa surban dan udeng-udeng itu, juga nggak bener. Kalau boleh saya mengkritisi apa yang telah menjadi perkataan mas Taufik tadi, menurut saya itulah kelemahan orang Islam. Kita, sebagai orang Islam, sebenarnya sudah terlalu terlarut mendewakan symbol-simbol agama macam surban dan udeng-udeng tadi. Padahal belum tentu symbol macam itu bisa menjamin tingginya tingkat keimanan dan ketaqwaan seseorang. Bisa saja gelandangan yang berpakaian apa adanya, dia lebih alim dan beriman ketimbang saya ketika memakai surban dan udeng-udeng. Yang penting
“Oooo…jadi, sampeyan pengin ikut-ikutan menipu orang laen dengan
“Ya bukan begitu, pakdhe. Penginnya saya sih sederhana. Sebaliknya, saya nggak ingin orang-orang tertipu dengan mengira saya ini orang pinter, ngalim soal agama, padahal niat awal saya pake surban dan udeng-udeng
“Tapi bukankah Allah akan menjamin rezeki umatnya jika umat itu mau menolong agama Allah. Sampeyan yang sudah mau menolong agama Allah melalui syiar lewat pakaian itu ya pantes menerima imbalan pertolongan Allah. Anggap saja begini, sampeyan sudah menjadi ‘iklan’ busana muslim yang resmi-resmi menutup aurat, ini
“Apalagi, Jon, sampeyan yang sudah terlanjur terkenal lebih alim dari kita-kita, bahkan sudah diangkat sumpah jabatannya sebagai guru ngaji anak-anak, kemudian tiba-tiba berpakaian di bawah standar ala kadarnya, bisa-bisa anak-anak meniru kelakuan gurunya yaitu sampeyan. Ingat lho, guru itu digugu lan ditiru.
Mendengar himbauan yang lebih mirip ancaman ini, si Jon geleng-geleng kepala. Dengan suara yang ditenang-tenangkan, dia mulai berkata serius, “tapi gini juga lho para tamu saya yang terhormat. Saya
Kata-kata Jon Marmut tiba-tiba berhenti mendadak, mulutnya kaya ada rem cakramnya, mak settttt. Yang mendengar karuan saja penasaran. Mereka sudah kadung ambil duduk dengan sikap sempurna untuk mendengar alasan si Jon. Malah-malah mulut Lik Di saja sudah mlongo kaya gua Selarongnya Pangeran Diponegoro. Tapi si Jon dengan kurang ajarnya mengacak-acak perasaan orang yang katanya sudah dianggap sebagai seniornya sendiri, meskipun cuma senior umurnya, sedang pengetahuannya jelas di bawah si Jon. Lak ya jan kurang ajar tenan si Jon Marmut ini.
“Begini….bagaimana Jon? mbok jangan suka bikin dada pakdhemu ini tratapan. Untung jantung pakdhe ini gak penyakitan. Coba bayangkan jika saja pakdhemu ini gak suka olahraga, bisa-bisa pakdhe jantungan lantas mati mendadak. Nanti kamu juga yang disalahkan.” Pakdhe Mungin terlihat sudah tidak sabar.
“Ini juga pakdhe yang paling sepuh umurnya malah ngompor-ngompori lainnya agar tidak sabar.” Balas Jon Marmut sambil membetulkan posisi duduknya yang sudah tidak nyaman lagi.
“Begini pakdhe, Lik Di, dan Mas Taufik. Beberapa hari yang lalu kan kita semua sama-sama mengetahui bahwasanya yang terhormat pak penegak hukum di Jakarta sana mengumumkan, demi stabilitas keamanan nasional dari serangan teroris, mereka akan mengawasi dakwah-dakwah yang dilakukan di musholla dan masjid-masjid. Ini
“Lha…dengan alasan membahayakan diri sendiri inilah saya kemudian berusaha merubah penampilan saya. Ini juga saya sudah manut sama hadis kanjeng nabi lho. Menurut beliau, jika kita hendak beribadah sunah namun dalam proses ibadah yang bersifat sunah itu terdapat resiko bahaya, maka tinggalkanlah. Anggap saja begini, saya berpakaian muslim ala sahabat nabi, ini
Sampai disitu si Jon mengamati ketiga orang yang hendak mendemonya tadi. Tapi…..Pakdhe Mungin sudah keburu ngorok, Lik Di bercucuran air liur, dan Mas Taufik yang bersemangat itu…, dia sudah terlebih dahulu tersenyum dalam mimpi-mimpi tidurnya.
Jon melihat jam di HP-nya. 23.57 WIB, jam dua belas malam kurang 3 menit. Maklum.
Wallahu a’lam.
Dian:sangat-sangat bermakna dan menyentuh..
BalasHapus