bagaimanakah isi materi cerpen-cerpen kami?

Sabtu, 13 Februari 2010

GEORGE

Kalaulah engkau masih menyisakan sedikit hatimu, tentulah aku akan sangat bergembira. Seperti ketika tetesan air di musim gerimis yang menyisakan sedikit kehangatan ruang untuk kita nikmati, kerelaan hatimu adalah seberkas pengharapan bagi aku yang tengah sendiri.

“Sri !” panggilmu kala itu, saat aku berlalu mencoba menghindarimu. Di samping etalase-etalase toko kemudian engkau mengajakku untuk mampir di sebuah restoran dengan tulisan megah pada kaca depan: ASIAN FOOD. Seperti bisaa aku sekedar memesan sepiring nasi putih dengan hiasan telur dadar di atasnya. Sedangkan engkau, cukup dengan segelas juz apokat kesukaanmu, selain tentunya karena alasan kurang familiarnya lidahmu pada masakan bangsaku.

Di luar, lalu lalang limosin mewah membelah jalanan kota Hamburg. Kereta listrik baru saja melintas di depan kami. Sebuah kereta kelas eksekutif yang melaju kencang meninggalkan Hamburg menuju kota Wittenberg. Bagi kereta semewah itu, Wittenberg hanyalah stasiun transit untuk kemudian melintasi sungai Elbe menuju Berlin, sebuah kota besar lain di Jerman.

“I don’t know, George. I’m not decision maker now. Everything is about your perception.” Jawabku ketika entah keberapa kali engkau tanyakan soal rencana pernikahan kita. Mendengar itu engkau seolah merasa tersinggung. Suaramu mendadak tinggi melebihi ketinggian gedung White Golden yang berdiri paling tinggi di jejeran gedung perkantoran kota Hamburg.

“I’m sorry, George. Bukan maksudku untuk menyudutkanmu. Tapi kau jelas sudah tahu prinsipku !” bujukku untuk menenangkan lelaki yang sudah kukenal sejak pertama kali kuinjakkan kaki di Jerman. Lelaki ini pula yang kemudian mencarikan apartemen sederhana buatku ketika aku merasa kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan asrama yang sebelumnya telah disediakan oleh pihak KBRI sebagai penanggung jawab program beasiswa.

“Tetapi tidakkah engkau bisa sedikit bersandiwara di depan orang tuaku. Mengakulah engkau sebagai bukan orang Islam agar orang tuaku mengijinkan kita menikah. Begitu juga aku yang akan mengikuti ajaran agamamu setibanya kita di Indonesia ! cobalah bersandiwara sedikit demi masa depan kita, Sri !” kata George membujukku.

Aku sedikit terkaget dengan permintaannya. Tak pernah sebelumnya George yang merupakan mahasiswa terbaik di kelasku berpikiran sedemikian praktis, cenderung oportunis. Apalagi ini menyangkut persoalan prinsip. Bagiku, pantang menikah dengan lelaki yang, maaf, beragama selain Islam. Ini sudah menjadi prinsip yang ayahku tanamkan sejak aku mengenal laki-laki.

Pernah dulu ketika aku kuliah S-1, seorang teman laki-laki berkunjung ke rumah. Ayah mengira dia adalah pacarku. Dengan bahasa yang runtut sedikit menyelidik, ayah bertanya soal latar belakangnya. Pertanyaan yang paling getol dari ayah tidak lain adalah soal ketaatan agamanya.

George, selain karena kebingungannya, alasan yang mungkin bisa aku pahami dari pandangan oportunisnya kali ini adalah karena begitu sekuler kehidupan beragama di negara asalnya, Amerika. Wajar bila kemudian pola pikirnya, meski secerdas apapun, tetap akan terpengaruh oleh budaya yang sejak kecil ia gauli.

“Sri Penganti Alifa Yuda, kuminta jangan kau gagalkan rencana pernikahan yang telah kita rancang !” pintanya kemudian dengan menyebut nama lengkapku, pertanda keseriusan permintaannya.

Kuhentikan kunyahanku. Kuteguk sedikit air putih untuk menghilangkan kegugupanku. Kuamati raut muka George yang tampak berhiaskan buliran-buliran keringat kecil di dahinya. Tampan dan penuh tanggung jawab.

George memang tak sama dengan lelaki-lelaki Barat yang aku pikirkan selama ini. Meski berasal dari keluarga broken, tapi dia jelas-jelas menentang pergaulan bebas seperti kebanyakan lelaki di lingkungannya. Ia juga sangat menghormati aku sebagai seorang perempuan. Tak pernah sekalipun dia berusaha memperlakukanku seperti pasangan kumpul kebo yang seolah menjadi trend kehidupan di kota ini. Baginya wanita adalah pihak yang perlu untuk mendapat perlindungan dan penghormtan, bukan sebagai pemuas nafsu bejat.

Kurasa aku beruntung mengenal lelaki macam George di tempat yang sangat jauh dari negeri asalku. Selain bisa melindungi, George juga paling asyik dan enak untuk diajak berdiskusi, baik itu mengenai tesis yang kukerjakan ataupun topik lain yang tidak ada hubungannya dengan kuliah S-2 ku. Pernah suatu kali aku tanya pandangannya tentang terorisme yang bagi dunia Barat menjadi semacam alat untuk memperburuk citra dunia Islam. Setelah bicara dan menerangkan agak ngalor-ngidul akhirnya George membuat kesimpulan atas jawabannya sendiri. Menurutnya, Kejayaan Islam tempo dulu hanya akan kembali apabila umat muslim kembali menerapkan akhlak seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Kalaupun toh terorisme benar dilakukan oleh orang Islam, George mengingatkan kejayaan tidak dapat diraih dengan kekerasan semacam terorisme. Menurutnya lagi, bila Barat berkehendak menghancurkan Islam dengan cara-cara halus maka perlawanannya pun mesti dengan cara yang lebih halus dan rapi.
“Sekali lagi jangan dengan kekerasan “ lanjut George menerangkan asumsinya.

Sampai di situ aku tidak habis piker oleh keberatan Mr. Goran, orang tua George, atas rencana pernikahan kami. Semula aku dan George telah sepakat untuk menikah dengan cara Islam untuk kemudian George bersedia menjadi muallaf. Bahkan untuk membuktikan kesungguhannya, George sudah berlatih dan menghafalkan bacaan dan gerakan sholat. Sedangkan untuk membaca al-Qur’an, george lebih suka membaca artinya saja. Ah, tidak masalah bagiku. Toh yang penting bukan bunyi bacaannya, tapi inti dari ajaran al-Qur’an itu sendiri.

Tapi awal bulan yang lalu, ketika kami seluruh mahasiswa penerima beasiswa sedang malaksanakan upacara wisuda, semua impian kami seolah buyar. Sementara di aula tempat wisudawan menunggu giliran penyematan gelar, aku diajak Mr. Goran dan George ke sebuah ruang kecil sebelah aula.

Di sanalah dengan jelas Mr. Goran menentang habis-habisan rencana pernikahan kami, dan juga rencana perubahan keyakinan George.

“It’s so crazy, George ! All of my family is never pray the other God. Just one, he’s Jesus, George. And you, miss Sri Penganti, you are more crazy than George !”
Bumi serasa dibalik, langit seolah sengaja diruntuhkan. Tak pernah sekalipun aku dimaki semacam ini, apalagi ini dari orang yang belum aku kenal sebelumnya. Munafik saja, batinku, jika Mr. Goran mengagung-agungkan keyakinannya. Padahal yang kutahu dari George, ayahnya yang Mr. Goran itu ditinggalkan istrinya karena ketahuan berulangkali berselingkuh. Ku kira Jesus-pun tak akan rela memiliki pengikut yang gemar berselingkuh macam Mr. Goran.

Lama aku menggerutu dalam hati untuk mengurangi ledakan-ledakan emosiku. Untuk kemudian kusadari gerutuku tak akan mampu mengubah pendirian Mr. Goran. Jujur, aku sudah terlanjur sayang pada George, lelaki ter-alim yang pernah kutemui di negeri Hitler ini.

Kalimat istighfar kelantunkan pelan dan dalam untuk kemudian aku maknai sendiri dalam pribadiku yang tengah kecewa. Kusungkurkan mukaku pada sapu tangan yang diberikan George kala melihatku menangis.

Dengan beriringkan lagu Einigkeit und Recht und Freiheit yang bersenandung megah sepantasnya lagu kebangsaan Jerman dilantunkan, aku berlari kembali memasuki aula pertemuan. Untuk beberapa saat kemudian namaku dipanggil oleh sang pemandu wisuda. Aku maju dengan langkah kubuat setenang mungkin dan mencoba menafikkan cacian Mr. Goran.

“Inilah aku, anak desa dari kampung Sikutis, yang mampu menamatkan beasiswa S-2 di negeri Jerman akulah satu dari lima penerima beasiswa S-2 di Hamburg University,“ bisikku pada diri sendiri untuk kembali menanamkan rasa percaya diri.

****

Empat bulan sudah aku kembali ke tanah air tercinta. Empat bulan juga waktu yang kubutuhkan untuk terus mencoba melupakan kenanganku akan George. Alhamdulillah, semuanya dapat terlewati dengan baik. Mungkin karena kesibukanku mengajar di universitas Islam tempatku bekerja.

George hanya tinggal kenangan. Sekarang yang di depanku adalah dosen-dosen muda yang tak kalah ganteng dibandingkan dengan George. Sudah tampan, agamanyapun jelas, Islam is our religion. Burhan, Misbah, Jabir, Fatih dan banyak lagi dosen muda seangkatan di sekitarku.

Tetapi yang paling aku nantikan untuk segera bertemu adalah seorang dosen tamu yang sebentar lagi akan mengisi kekosongan pengajar pada matakuliah Sosiologi Agama. Yang kudengar, orangnya sangat mudah bergaul, cerdas dan berwawasan luas. Ide-ide cemerlangnya selalu orisinil. Pastilah dosen ini bisa menjadi partnerku dalam diskusi.

Seperti biasa, setelah sepanjang pagi mengajar, kurebahkan tubuhku pada kursi yang tersedia di ruang dosen. Iseng-iseng aku raih beberapa lembar kertas yang berserakan di atas mejalu. Aku baca satu persatu. Hanyalah beberapa makalah dari mahasiswa-mahasiswaku. Tapi menarik juga kubaca. Apalagi bila menemukan makalah mahasiswa semester awal. Bahasanya lucu sekaligus menghibur.

Kubaca sekilas satu persatu. Hingga pada bendel terakhir tanpa sengaja kubaca sebuah curriculum vitae sosok dosen baru yang dijanjikan. Hamburg University, begitu tulisan yang menunjukkan asal kuliahnya. Ini berarti satu almamater denganku. Aku semakin tertarik. Siapa gerangan orang ini yang akan menjadi rekan kerjaku. Seingatku, penerima beasiswa lulusan dari Hamburg University tidak banyak. Yang kuingat hanyalah Wibisono, Sudrajat, Marsudi Siregar dan Idrus Maulana. Pastilah salah satu dari empat rekanku ini.

Segera kucari kolom yang menunjukkan nama sang calon dosen. Dan, masyaallah…..George Hellferich.

Sumowono, 13 Pebruari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar